Berasal dari sebuah novel young adult tahun 2010, “Before I Fall” menjanjikan sebuah premis misteri yang kelihatan cukup menggelegar. Dengan hanya berdurasi satu setengah jam, penonton akan masuk ke dalam hari terakhir dari seorang Samantha Kingston.
Samantha Kingston, yang diperankan oleh Zoey Deutch, adalah seorang siswi high school biasa. Pagi itu, Ia dibangunkan dengan alarm, dan cepat-cepat bergegas untuk pergi ke sekolah. Maklum, hari itu merupakan cupid day. Cupid day sendiri merupakan sebuah sebutan untuk hari Valentine di sekolah mereka. Ia dijemput oleh seorang sahabatnya, Lindsay Edgecomb, diperankan oleh Halston Sage, yang telah menanti Sam di depan rumah.
Bersama Lindsay, Ia kemudian menjemput anggota geng mereka yang lain. Mulai dari Ally, yang diperankan oleh Cynthy Wu, hingga sampai ke rumah terakhir, Elody, yang diperankan oleh Medalion Rahimi. Keempatnya cukup excited, terutama Sam bagi sahabat-sahabatnya. Elody menghadiahinya sebuah kondom bagi Sam. Bila sesuai rencana, Sam akan menikmati first time sex-nya dengan kekasihnya, Rob Cokran, yang diperankan oleh Kian Lawley.
Saat kelas berlangsung, tiba-tiba mereka diinterupsi dan dihampiri sekelompok gadis yang membawa sekeranjang bunga mawar. Sesuai dengan tradisi sekolah, gadis-gadis tersebut akan mengirimkan bunga mawar sampai ke tujuan. Keempat sahabat ini kemudian membicarakan jumlah mawar yang mereka terima, sekaligus menyindir teman kelas mereka, Anna Cartulo, yang diperankan oleh Liv Hevson, yang selalu tidak pernah menerima bunga. Juga, target bully-an mereka, Juliet Sykes, yang diperankan Elena Kampouris, tidak ketinggalan menjadi topik perbincangan mereka berempat. Hingga akhirnya, kepergian mereka berempat ke sebuah pesta di rumah Kent McFuller mengubah segalanya.
Tanpa punya ekspektasi yang besar, “Before I Fall” lumayan menarik untuk diikuti. Penonton akan masuk ke dalam cerita dengan pengulangan-pengulangan, yang secara perlahan akan menggali detil-detil buat penonton. Memang terlalu menarik, jika kita bisa mengulang kegiatan yang kita lakukan di sebuah hari. Lalu setelah itu, kita bisa menyimpannya, ala-ala seperti fitur save saat bermain ‘Harvest Moon.’ Yah, itu yang terjadi dengan Sam. Penonton bisa menyaksikan bagaimana Sam berupaya untuk menggali apa yang terjadi sebenarnya dan apa yang perlu Ia perbuat agar dapat lanjut ke hari berikutnya.
Yang menarik, cerita yang diadaptasi dari novel karangan Lauren Oliver ini, ditulis oleh Maria Maggenti dengan tetap mempertahankan gaya penceritaannya: lewat sudut pandang orang pertama dan penggunaan narasi yang kuat. Akan tetapi, yang lebih menarik dalam ceritanya, ketika pengulangan-pengulangan itu terjadi, pengulangan tersebut tidak berulang secara tepat. Seperti kata hukum Newton, setiap aksi akan menghasilkan reaksi. Kita akan melihat kalau Sam mencoba untuk melakukan beragam aksi untuk menghasilkan bermacam-macam reaksi. Namun, mengingat ini hanyalah sebuah cerita, Sam tetap akan masuk ke dalam lingkaran besar kejadian yang tidak bisa dihindarinya.
Karakter Sam dalam film ini menghadirkan lima tahap kedukaan aka model Kübler-Ross. Mulai dari tahapan denial akan nasibnya, lalu berlanjut dengan kemarahan, dimana Ia merasa tidak adil. Ketiga, bargaining, bagaimana Ia mencoba untuk bertawar akan nasibnya. Keempat, depression, saat Ia memperlihatkan orang-orang untuk melakukan apa yang sebetulnya Ia inginkan. Hingga akhirnya, acceptance, saat Ia akhirnya bisa menerima kenyataan yang sebenarnya, seperti kata Sam, “No. You saved me.”
Ending film ini sebetulnya memang mudah tertebak. Bagian proses ceritanyalah yang sebetulnya lebih perlu disimak. Secara keseluruhan, Ry Russo-Young menampilkan kualitas film yang terbilang lumayan. Penonton akan sedikit mengingat “Mean Girls” yang diaduk dengan sedikit misteri. Bicara penampilan para cast-nya, mungkin Zoey Dutch dan Halston Sage yang cukup menampilkan karakter yang kuat.
Walaupun saya belum pernah membaca edisi cetaknya, saya lebih merasa kalau material ceritanya lebih cocok dalam versi buku. Namun, setidaknya saya tidak terlalu merasa membuang waktu saat menyaksikan film ini. Setidaknya, penonton kembali diajak merefleksi diri kita masing-masing dengan yang kita lakukan setiap hari. Seperti kata Samantha lagi, “Maybe for you there’s a tomorrow. Maybe for you, there’s 1,000 or 3,000, or 10… So much time, you can bathe in it. So much time, you can waste it. But for some of us, there’s only today, and what you do today matters – in the moment, and maybe into infinity… But I didn’t know any of that… Until right before I fell.”