Di tahun 2014, sebuah film dari Negeri Jiran mampu berhasil untuk melampaui rekor box office di negaranya, sekaligus rekor produksi film non-Malay. “The Journey” merupakan film tersebut. Film ini bercerita tentang sebuah kisah keluarga etnis Tionghoa di Malaysia yang dikejutkan dengan kepulangan sang putri sambil membawa calon suaminya.
Film ini diawali dengan kedatangan sepasang kekasih bernama Benjamin ‘Benji’ Harris dan Goh ‘Bee’ Yong, diperankan oleh Ben Andrew Pfeiffer dan Joanne Yew Hong Im, yang ceritanya berasal dari Inggris. Malangnya kedatangan keduanya diawali dengan sebuah konflik kecil. Konflik kecil ini kemudian semakin menjadi malapetaka, saat Benji bermaksud mengambilkan kepala ayam di piring calon mertuanya. Ayah Bee, Goh Chee Chuan, yang diperankan oleh Lee Sai Peng, malah merasa terhina. Ia merasa pemberian kepala ayam di saat perayaan Tahun Baru Cina adalah sebuah hal buruk. Mengutip kata Bee, “It’s Chinese rules.”
Benji seakan mengalami culture shocks disini. Ia tidak berbahasa Mandarin. Padahal, calon ayah mertuanya selalu berbicara dengan bahasa tersebut. Belum lagi ditambah sosok old-fashioned-nya yang lumayan konservatif dan sangat mentaati aturan serta larangan dalam Budaya Tionghoa. Ini seakan sebuah arus magnet yang berkebalikan dengan Benji yang terbilang lebih open-minded dan childish.
Chuan punya sebuah sumpah yang sering Ia ceritakan pada warga di kampungnya. Ia berencana akan mengadakan pesta banquet serta akan mengirimkan undangan ke sahabat-sahabatnya secara langsung, untuk kegiatan pernikahan putri tunggalnya. Bila tidak terpenuhi, Ia bersumpah untuk disambar petir. Seiring dengan rencana pernikahan yang akan segera dilangsungkan, Ia pun bergegas membagikan undangan ke sebelas teman masa kecilnya.
Awalnya saya terasa saja saat mula-mula menyaksikan film ini. Nuansa komedi sudah dihadirkan dari awal, lewat adegan prosesi penjemputan pengantin wanita dari sebuah pernikahan. Ryon Lee, penulis naskah film ini, menyajikan kisah dengan setting etnis Tionghoa yang cukup kental. Apalagi ditambah dengan latar Tahun Baru Cina. Anda akan menjumpai mengenai beberapa adat istiadat yang kerap berlaku: seperti Budaya Timur yang tidak mengijinkan sepasang kekasih tidur dalam satu kamar, pemberian angpao dan sembahyang di klenteng, arak-arakan parade Chingay dengan barongsai dan seserahannya di Penang, hingga larangan mengunjungi sahabat yang berduka ketika sedang menyiapkan pesta.
Tema keluarga juga kental dalam kisahnya. Film ini akan mengurai hubungan antara Benji dan calon mertuanya, serta hubungan putri dan ayah yang telah terpisah lumayan lama. Akan ada beberapa kelucuan diselipkan yang mewarnai cerita dramanya. Yang membuat saya menarik dari ceritanya, ternyata film ini tidak sekedar seperti dengan premis yang dihadirkan. Ryon Lee ternyata semakin menggali sosok Ayah dan 12 zodiaknya, dan mulai meninggalkan fokus utama seiring berjalannya cerita.
Bicara penyajiannya, sutradara Keng Guan Chiu menampilkan keindahan alam Malaysia dalam settingnya, mulai dari kehidupan pedesaan hingga tempat-tempat yang dikunjungi tokoh-tokohnya. Chiu juga memadukan musik akustik easy listening yang terbilang sepadan dalam memperkaya adegannya. Kalau penampilan para aktor dan aktris di film ini, Lee Sai Peng menjadi favorit saya disini. Sai Peng lumayan berhasil mengarahkan cerita dari karakternya, yang pada akhirnya lebih mengungguli kedua pemeran utama disini.
Secara keseluruhan, film ini terbilang cukup oke. Penyajian visual yang tidak terlalu membosankan, jalan cerita yang tidak tertebak saya, hingga pesan dari film ini yang terbilang berhasil disampaikan. Ada satu kutipan menarik, dari karakter Gao di film ini yang diambil dari peribahasa Cina, “Even if you’re not filial enough, at least you obey to your parents.” So, do it!