Sudah sekian lama ditunggu, akhirnya versi live action Disney berhasil rampung di awal tahun 2017. “Beauty and the Beast” merupakan sebuah penyajian adaptasi literatur klasik yang diambil persis dari versi animasi Disney’s tahun 1991. Yang menarik, versi kartunnya merupakan film animasi pertama yang berhasil masuk ke dalam nominasi Best Picture di Academy Awards. Untuk versi ini? Entahlah.
Belle, diperankan oleh Emma Watson, adalah seorang gadis desa Villeneuve yang tidak biasa. Ia gemar membaca, dan juga merupakan seorang putri tunggal dari ayahnya yang overprotective, yang bernama Maurice, diperankan oleh Kevin Kline. Baginya, hidup di Villeneuve memberikan sebuah keamanan, “This is a small village, and it’s small-minded, as well. But small also means safe.” Maurice sendiri merupakan seorang pembuat barang antik. Di desa kecil tempat Ia tinggal, Belle merupakan wanita yang dianggap cukup aneh. Cuma, ada seorang pria bernama Gaston, yang diperankan Luke Evans, yang tergila-gila padanya.
Suatu ketika, Maurice memutuskan untuk melakukan perjalanan bersama kuda putihnya yang diberi nama Phillipe. Sebelum berangkat, Belle menitip pesan untuk membawakannya sekuntum bunga mawar pada ayahnya. Malangnya, di tengah perjalanan cuaca tidak bersahabat. Ia pun kemudian bertemu dengan segerombolan serigala dan berhasil kabur dari situasi yang cukup mengancam hidupnya. Tanpa disangka, Ia kemudian menemukan sebuah istana besar yang terlihat angker. Istana ini punya beberapa barang yang “hidup.” Karena ketakutan dengan gerak-gerik ‘barang-barang’ ini, Maurice memutuskan untuk pulang. Namun, Ia kemudian teringat pesan putrinya ketika melihat ada sekumpulan mawar putih didepannya. Sayangnya, kita diambilnya satu, Ia malah berkenalan dengan si Buruk Rupa.
Sebenarnya, saya cukup pesimis dengan proyek ambisius Disney ini. Selain menilai di titik “cukup” untuk tidak menyajikannya ke dalam versi hidup, yang kadang selalu jadi tidak lebih baik dari aslinya. Lihat saja “The Jungle Book”, “Cinderella”, hingga yang sebelumnya “Mirror Mirror.” Dan ketika menyaksikan opening entrance dan scene-nya, mengubah semuanya.
Bill Condon, sutradara “Dreamgirls,” menghadirkan penyajian musikal yang kental di film ini. Adegan demi adegan selalu saya rujukkan ke dalam benak ingatan dengan versi tahun 1991-nya. Tidak memalukan. Malah film ini berhasil untuk mencoba lebih dari versi sebelumnya.
Condon seperti mengingatkan saya dengan “Amadeus.” Ketika kita belum bertemu dengan Belle, penonton akan berkenalan dengan Beast, yang diperankan Dan Stevens. Beast yang belum dikutuk saat itu, hidup di sebuah istana yang berkelimpahan, dengan setting yang didesain layaknya era Paris di abad ke-17. Juga penonton akan melihat transformasi efek ketika Beast baru saja mendapatkan kutukan. Terbilang oke buat saya, namun terlalu CGI.
Yang sangat disayangkan di film ini karena latar belakang gambar settingnya terlalu CGI. Sebetulnya penyajian set dekorasi film ini terbilang kaya, lewat padatnya item disana-sini yang memberi kesan keragaman. Sayang saja, sepanjang film sangat terasa kalau dibuat di dalam sebuah studio. Yup, ternyata pengambilan gambarnya dilakukan di Shepperton Studios, England.
Bicara musiknya, Alan Menken menghadirkan suasana yang lebih meriah. Saya lebih menyukai yang versi barunya. Kalau musikalnya, ada dua yang menjadi favorit saya. Pertama, “Be Our Guest” yang dinyanyikan Ewan McGregor dkk. Saya menyukai konsep fantasi yang ditampilkan. Kedua, musical scene “Gaston” yang dinyanyikan Luke Evans dan Josh Gad. Saya cukup terkaget-kaget melihat penampilan Evans. Ia cukup komikal dan memperlihatkan totalitasnya memerankan seorang Gaston, si antagonis yang bodoh.
Sedikit comment yang tidak penting, saya merasa gaun kuning Belle yang sebetulnya salah satu momen utama dalam versi kartunnya, terasa kurang menggigit. Mungkin perlu lebih sedikit mewah atau apalah. Juga, di bagian credits, lagu “Beauty and the Beast” versi daur ulang Ariana Grande dan John Legend masih terasa kurang mampu mengalahkan Celine Dion dan Peabo Bryson yang begitu fenomenal. In overall, terlepas dari unsur kental efek studio dan CGI-nya, saya masih menyukai musikal ini. Setidaknya, “Beauty and the Beast” berhasil mengajak saya bernostalgia saat pertama kali menyaksikan versi aslinya.