Bagi seorang Sebastian, “That LA. They worship anything then they value nothing.” “La La Land” merupakan kisah sepasang pengejar mimpi. Yang satu mau menjadi seorang aktris, dan satunya lagi idealis dengan jazz tradisionalnya.
Dua tahun silam, Damien Chazelle berhasil meneror saya dengan film “Whiplash”-nya, yang juga berhasil membawa JK Simmons meraih Academy Awards untuk pemeran pembantu terbaik. Film bertema musik ini ternyata jadi kekuatan Chazelle, ketika kali ini Ia mencoba peruntungannya dalam mengarahkan sebuah musikal. Hasilnya, luar biasa! Chazelle membawa penonton ke dalam 120 menit yang menyenangkan.
Adegan pembuka film ini dibuka dengan tulisan ‘CINEMASCOPE’ yang terpampang besar, dilengkapi tulisan credit satu baris dibawahnya dengan font mini. Pembukaan ini mengingatkan saya dengan film-film CINEMASCOPE yang banyak dirilis di dekade 50-60-an. Belum lagi ditambah opening musical yang tidak diduga. Film ini dibuka oleh karakter-karakter yang tidak kita kenali; yang menari, berdansa dan bermain musik di sepanjang jalan layang yang macet total. Kemacetan berhasil disulap Chazelle menjadi sebuah momen yang menyenangkan.
Di tanggal 25 Januari, hari itu, Mia, yang diperankan oleh Emma Stone, sedang membawa mobil Prius-nya sambil menghafal dialog percapakan telepon yang akan dibawakan saat audisi. Ia terjebak dalam kemacetan, namun tidak menghambat niatnya. Lain halnya dengan Sebastian, diperankan Ryan Gosling, yang juga terjebak. Mobilnya persis dibelakang mobil Mia. Sebaliknya, Ia malah tidak sabar walaupun Ia sambil mencuri waktu untuk berlatih kemampuan bermain piano jazz-nya.
Film ini berkisah keduanya, dan menggambarkan suka duka mereka. Mia, patut digambarkan sebagai wanita yang pantang menyerah. Sudah enam tahun terakhir Ia mencoba peruntungan dengan mengikuti banyak audisi, walaupun dengan hasil tangan kosong. Kalau Sebastian, Ia tidak rela ketika klub jazz andalannya berubah menjadi Klub Samba-Tapas. Ia malah bermimpi suatu hari dapat memiliki klub Jazz yang mampu mempertahankan semangat jazz tradisional yang mulai termakan zaman.
“La La Land” bukanlah sebuah kisah percintaan yang digarap dengan musikal biasa. Film ini begitu berkualitas. Sepanjang film, penonton akan dipenuhi dengan teknik-teknik luarbiasa. Mulai dari koreografi, set, variasi lighting, komposisi warna, sinematografi, cerita dengan sedikit fantasi, akting hingga musik.
Yang paling jelas adalah bagaimana teknik pencahayaan berhasil dimanfaatkan Chazelle untuk menuturkan ceritanya secara efektif. Ia berani bermain dengan permainan bayangan-bayangan, scene-scene gelap, hingga pantulan warna yang memberikan kesan sarat makna dalam beberapa adegannya. Nuansa warna biru violet cukup mendominasi film ini.
Film ini tidak memiliki banyak track, namun yang paling mendominasi adalah Mia & Sebastian’s Theme. Baiknya, “La La Land” akan begitu mudah untuk membuat Anda jatuh hati dan menyukai film ini dengan mudah. Tidak hanya itu saja, saya sangat menikmati cara film ini menghadirkan musical scene dengan set yang besar dan banyaknya pendukung, menggunakan kembali cara lazim musikal-musikal lawas. Two big thumbs up for Justin Hurwitz!
Emma Stone berhasil mencuri perhatian saya dengan segala yang dihadirkannya disini. Mulai dari permainan ekspresinya, tarian-tariannya, hingga suaranya yang merdu. Stone berhasil merajai penampilan disini. Chemistry-nya dengan Gosling juga terbilang lumayan. Apalagi mengingat karakter Sebastian yang sebetulnya cukup gengsian, dan kadang memecah tawa kecil dari dialog-dialognya. Tapi, jujur saja, akting Gosling sebagai pianist jazz terbilang oke, mengingat tentu Ia memerlukan latihan yang luar biasa kalau Ia tidak punya background bermain piano.
Ada banyak hal menarik dalam catatan saya. Mulai dari adegan melompat dan berputar-putar dari dalam kolam renang, adegan tarian tap dance Mia dan Sebastian di jalanan aspal, hingga saat mereka berdua mengunjungi Griffith Observatory. Akan tetapi, yang paling menarik buat saya adalah momen ‘Someone in the Crowd.’ Mia dan ketiga teman perempuannya hadir dalam warna gaun yang berbeda di jalan raya, jalan berbarengan, dan sambil diiringi musik Emma Stone melambai-lambaikan ujung gaun Biru-nya. Wow!
Yang juga menarik adalah ketika film ini menyebut Indonesia. Ini menjadi bagian dalam percakapan Mia, Greg, beserta kakaknya. Saudara laki-laki Greg bercerita kalau Ia sempat mengunjungi Indonesia dan 5-star jungle eco-resort-nya.
Macam transisi yang digunakan film ini dari satu bagian ke bagian lain juga terbilang dinamis. Dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, dan seakan mengambil gaya-gaya film lama. Salah satunya seperti menutup adegan dengan lingkaran, ataupun membuka adegan dengan bulatan kecil yang kemudian diperbesar. Sedikit mengingatkan saya dengan film-film mystery.
Banyak orang yang berpendapat kalau film ini seperti mempertemukan Hollywood di masa lampau dengan settingnya di masa kini. Setuju! Pendekatan yang dilakukan Chazelle juga berlaku demikian. Cara yang dihadirkan film ini akan mengingatkan penonton dengan Hollywood di masa lalu. Seperti studio, ataupun set-set memorable. Ada beberapa adegan yang mengingatkan saya dengan film “An American in Paris,” “Singin’ in the Rain,” “The Red Balloon,” hingga sedikit “Midnight in Paris.”
Tidak hanya dunia perfilman saja, musik jazz juga jadi topik menarik yang diangkat di film ini. Mulai ketika Keith, yang diperankan John Legend, berusaha untuk menyesuaikan musik ini dengan tren kekinian. Ataupun Seb yang terjebak dengan mimpi besar dan idealis-nya. Saya menyukai cara Seb ketika Ia menjelaskan makna musik ini yang sebenarnya pada Mia, yang sebetulnya mengaku tidak menyukai musik ini.
Ending yang tak diduga, dan mungkin tidak akan semanis yang diharapan penonton. Setidaknya, film ini masih menampilkan adegan yang mungkin diharapkan penonton mayoritas. Sudah dua kali saya menyaksikan film ini di bioskop, and it was like my mood booster. Belum terlalu dini kalau saya menyebutnya sebagai ‘Best musical from this decade!’ “La La Land” akan terlalu mudah untuk mencuri hati penontonnya.