Saya pertama kali mendengar “Somewhere in Time” dari sebuah album remake kompilasi instrumental Mike Strickland. Kisah film ini cukup unik, berkisah mengenai seorang pria yang jatuh hati pada seorang wanita yang jauh lebih tua darinya. Lho kok bisa?
Kisah diawali dari kegiatan debut sebuah pementasan yang dilakukan oleh Richard Collier, yang diperankan oleh Christopher Reeve. Dalam perayaan itu, tiba-tiba sosok seorang wanita tua menghampirinya, lalu memberikannya sebuah pocket watch sambil berkata, “Come back to me.” Barang tersebut kemudian diterimanya tanpa mengerti maksud tujuan wanita tua itu.
Delapan tahun kemudian, Collier telah menjelma menjadi seorang penulis naskah teater professional. Ia baru saja berpisah dengan kekasihnya, dan mengalami kondisi writer’s block, suatu keadaan ketika penulis sedang kehabisan akal untuk menulis sesuatu. Dengan niat untuk refreshing, Ia memutuskan untuk meninggalkan Chicago yang padat selama beberapa waktu ke sebuah hotel yang bernama Grand Hotel.
Suatu saat, ketika Ia sedang berkeliling hotel, Ia terkagum pada sebuah foto yang terpampang. Foto itu adalah sosok Elise McKenna, seorang aktris yang terkenal di awal abad ke-20. Keingintahuannya yang begitu tinggi membuat Ia melakukan sebuah investigasi mengenai McKenna. Ketika Ia berhasil menggali informasi semakin dalam, Collier semakin masuk ke dalam kisah percintaan yang selama ini tidak disadarinya.
“Somewhere in Time” diproduksi oleh Universal tidak dihadirkan sebagai sebuah box office hit, mereka kala itu lebih terfokus dengan “The Blues Brother” yang memang punya budget lebih tinggi. Rastar Pictures memproduksi film ini, dengan melakukan pengambilan gambar yang mayoritas diambil di Grand Hotel. Grand Hotel sendiri aslinya adalah sebuah hotel yang terletak di Mackinac Island, Michigan. Lumayannya, film ini berhasil meraih satu nominasi untuk kostum terbaik di Academy Awards, dan sebuah nominasi untuk original score untuk John Barry.
Film ini disutradarai oleh Jeannot Szwarc, yang sebelumnya dikenal ketika melanjutkan sekuel hits Spielberg kala itu, “Jaws 2,” di tahun 1978. Untuk kisahnya sendiri diadaptasi langsung oleh penulis novel ini, Richard Matheson. Cerita dalam film ini diambil dari novel yang berjudul “Bid Time Return” yang telah dirilis 5 tahun sebelumnya. Matheson mengemas kisah dalam film ini dengan memberi beberapa perbedaan, yang menurut saya cukup kontras. Misalnya seperti alasan Collier untuk melakukan refreshing yang sebetulnya pada cerita aslinya karena Ia sedang mengalami penyakit tumor otak. Perbedaan-perbedaan buat saya cukup berpengaruh, karena seperti memposisikan sifat karakter Collier yang terkesan tak sama.
Saya suka dengan pengambilan gambar di film ini. Kurang lebih sama seperti drama-drama di eranya, seperti “On Golden Pond,” film ini terkesan tampak rapi. Adegan demi adegan mengalir dengan manis ditambah dengan pemandangan indah yang selalu menemani. Selain itu, musik gubahan sang legenda John Barry begitu fenomenal. Theme song film ini sangat mengena, dengan permainan piano dan orkestra pada alunan-alunan romantis bernuansa tragis. Perfect!
Bicara penampilan kedua pemeran utamanya, Christopher Reeve dan Jane Seymour tidak bisa berhenti untuk membuat saya terpukau. Entah kenapa, chemistry keduanya terasa cukup enak dipandang. Film yang sebagian besar ceritanya ber-setting di tahun 1912 ini memang tidak menawarkan kisah cinta yang se-frontal masa kini. Salah satu adegan yang cukup berkesan buat Saya kissing scene keduanya. Lewat ritme yang pelan, namun dengan suasana berapi-api yang terkontrol, tapi terkesan sangat dalam, keduanya seperti mempelihatkan one of the best kissing scene yang pernah Saya saksikan.
Secara keseluruhan, tontonan sederhana ini mampu menghibur saya. Cerita cinta yang ditawarkan memang tidak terlihat tragis layaknya “Love Story” ataupun “Romeo and Juliet.” Namun, bila diperhatikan dengan seksama, “Somewhere in Time” menawarkan sebuah kesedihan dari cerita cinta yang dibalut dengan fantasi, serta mempertanyakan akan eksistensi dari sebuah keabadian di kehidupan yang lain.