Dari judulnya Anda akan menebak mereka adalah pasukan bunuh diri. “Suicide Squad” merupakan sebuah film antihero buatan DC, yang berisi kumpulan-kumpulan penjahat dalam film Batman dan superhero lain versi DC. Ini merupakan film ketiga dari DC Extended Universe.
Cerita dalam film ini ber-setting ketika Superman telah mati. Yang tersisa tinggal Batman. Suatu ketika, seorang intel bernama Amanda Waller, diperankan oleh Viola Davis, berniat untuk membuat sebuah kekuatan baru. Kekuatan ini terdiri dari para penjahat yang sebelumnya telah berhasil ditangkap Batman, tetapi ada juga yang menyerahkan diri. Amanda berhasil mengetahui semua titik kelemahan penjahat-penjahat super ini. Berbekal itu, Ia mengajukan permohonan atasannya untuk menyetujui pembentukan pasukan yang ‘bisa kapan saja dikorbankan.’
Awal cerita film ini memperlihatkan bagaimana nasib para penjahat itu. Dimulai dari sosok Deadshot, Harley Quinn, El Diablo, Captain Boomerang hingga Killer Croc. Para penjaga telah menyadari kehebatan para penjahat ini yang membuat mereka semua dimasukkan ke dalam sel khusus. Mulai dari Quinn yang disegel dalam box besi yang bisa dialiri listrik, ataupun El Diablo yang dimasukkan ke dalam tangki ataupun Killer Croc yang punya sel layaknya kandang buaya.
Malangnya, rencana Puller yang dikemas sedemikian rupa tidak berjalan lancar. Salah satu andalannya, Enchantress, yang diperankan Cara Delevigne, berhasil menghidupkan saudaranya. Enchantress sendiri merupakan jiwa dari suatu dewi yang terjebak dalam sebuah patung, namun tanpa sengaja berhasil dikeluarkan oleh Dr. June Moore, seorang arkeolog. Alhasil, Dr. Moore menjadi inang Enchantress. Titik kelemahan makhluk ini adalah pada jantungnya, yang telah diamankan Puller. Oleh karena itulah, Enchantress memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan kembali kekuatannya yang terpusat di dalam jantungnya.
Courtesy of Atlas Entertainment, DC Comics, DC Entertainment, Dune Entertainment, Lin Pictures, Warner Bros. © 2016
Bicara mengenai alur ceritanya yang dikemas selama lebih dari 120 menit, terasa masih kurang buat saya. Saya cukup menikmati kisahnya, yang walaupun terasa nano-nano karena banyak karakternya, tapi masih wajar untuk dinikmati. Tentu jadi sebuah tantangan buat David Ayer, yang menggarap kisahnya bersama John Ostrander, kemudian menyutradarai film ini.
Bila membandingkan dengan film-film buatan Marvel, patut diakui DC agak terlambat dan memang masih dibawah. Bukti yang paling jelas adalah penggunaan efek visual yang kadang bukannya jadi penambah keindahan, malah menggangu mata saat menonton. Efek visual di film ini pun demikian. Terlihat dengan sangat jelas dan kurang rapi. Kadang sosok Enchantress malah mengingatkan saya dengan animasi “Beowulf.” Ini pun berlaku dengan set-set. Film jaman sekarang ini lebih banyak menggunakan CGI dalam penggunaan latar mereka. Sayangnya, yang berdampak pada film ini adalah bagaimana begitu terlihatnya properti yang non-CGI dengan efek CGI, yang malah mengingatkan saya dengan film-film dekade sebelumnya.
Jujur saja, ketika Ben Affleck terpilih sebagai pemeran Batman yang baru, saya sangat-sangat kecewa. Ia sudah gagal memerankan Daredevil, dan kali ini, Batman! Apa! Ini yang membuat saya sama sekali tidak berminat untuk menyaksikan seri DC Extended Universe sebelumnya. Parahnya, sosok ini muncul kembali di sana-sini. Karakter Batman yang muncul ini tidak membuat saya seharusnya bersemangat, tetapi malah menurunkan mood rate saya.
Akan tetapi, segala kekurangan itu berhasil ditutupi dengan cermatnya Ayer untuk menghadirkan Justice League versi antagonis. Terutama bagaimana Harley Quinn, yang diperankan dengan sangat apik oleh Margot Robbie. Quinn versi Robbie hadir dengan sosok yang lebih seksi, nakal, dan luar biasa menggoda. Spot-spot ini tidak terbantahkan dan berhasil menjadi pemecah emosi dari segala titik kejenakaan yang kadang hadir.
Selain Robbie, karakter Amanda Waller, yang diperankan Viola Davis, juga menjadi salah satu kunci ketertarikan Saya. Davis bisa dengan lugasnya menampilkan sosok yang cerdik dan kuat lewat akal inteleknya, namun juga berdarah dingin. Salah satu bagian yang Saya sukai ketika Ia membunuh seluruh anak buahnya dalam proses evakuasi dirinya. Andai saja bila DC berniat untuk mengembangkan cerita Waller maupun Quinn ke dalam sebuah film, tentu akan langsung masuk ke dalam radar watchlist Saya.
Honorable mention juga saya sematkan pada Jared Leto, yang perlu diapresiasi untuk memerankan The Joker. Karakter The Joker, yang sebelumnya cukup dandy dan jenaka ala Jack Nicholson, kembali dihidupkan dengan versi modern yang lebih komik nan keren. Leto seakan sudah dibebani dengan The Joker versi Heath Ledger yang memang terbilang the dark side of Joker. Walaupun demikian, lewat rambut Hijau nyentriknya, Leto masih bisa membuktikan kalau dia The Joker yang paling keren buat saya, sekaligus berhasil me-modern-kan versi klasik tokoh antagonis ini. In respect to Ledger’s fans, ini hanya cara menampilkan karakter lewat genre yang berbeda saja. Anda sudah terlalu lama terjebak dengan segala kedinginan dan kesadisan The Joker di “The Dark Knight.”
Dari sekian tokoh dalam “Suicide Squad,” yang Saya sukai adalah mereka semua tetap mempunyai kelemahan, walaupun semuanya bisa dibilang manusia super. Ini tidak seperti karakter-karakter Superhero yang kadang saja konyolnya selalu hebat.
Themes yang dihadirkan di film ini juga menarik. Kebanyakan besar ber-settting di Midway City, dengan nuansa gelap monokrom yang digabungkan dengan warna-warna berani yang menyala. Saya cukup menyukai penggambaran Joker dan Quinn yang dirias lebih modern dengan gaya rambut eksentrik mereka.
Musik dalam film ini juga jadi penambah keseruan ceritanya. Salah satu yang saya nikmati adalah ketika munculnya “Bohemian Rhapsody”-nya Queen ketika menampilkan para jagoan ini sedang menikmati penghargaan mereka.
Secara keseluruhan, “Suicide Squad” berhasil jadi tontonan yang menyenangkan buat Saya. Mulai dari kemauan untuk memotivasi ala Deadshot, atau kenekatan dengan segala kecerdikan ala Quinn, atau kesabaran dan niat baik ala El Diablo, ataupun kepatuhan ala Killer Croc, berhasil membuktikan walaupun mereka jahat, mereka masih dapat dikendalikan selama kita bisa sepintar Waller. Manusia bisa berubah menjadi layaknya sosok monster yang buas dan beringas. Namun, tetap dengan perlakuan yang tepat dan kelihaian mencari titik lemah musuh bisa menjadi obat untuk mengendalikan mereka.