Mungkin saya terlalu under estimate dengan “The Croods.” Animasi garapan Dreamworks ini awalnya sedikit mengingatkan saya dengan setting manusia purba ala “The Flintstones.” Tapi itu semua langsung berubah semenjak narasi pertama Eep, center character di film ini.
The Croods adalah sebutan bagi keluarga Eep. Mereka terdiri dari 6 orang, Ayah, Ibu, ketiga anak dan seorang nenek. Eep, yang disuarakan oleh Emma Stone, merupakan anak tertua. Tidak sama dengan animasi princess-princess yang selalu punya paras cantik, buat saya Eep kebalikannya. Ia malah bertubuh kekar, punya bahu yang lebar dan besar, serta tidak cantik.
The Croods merupakan caveman yang tersisa. Dibawah lindungan Grug, sang ayah yang disuarakan Nicholas Cage, keluarga ini menjadi salah satu yang tersisa. Strategi Grug selalu berhasil: berdiam di dalam gua. Cara ini membuat mereka bisa bertahan dari kerasnya persaingan seleksi alam di jaman itu.
Sayangnya, tiba-tiba terjadi kehancuran dimana-mana. Dataran yang tadinya biasa saja malah terbelah. Ini kemudian membuat The Croods untuk mencoba mengejar matahari, demi menemukan tempat tinggal yang lebih baik. Di saat yang sama, mereka bertemu dengan sosok Guy, disuarakan oleh Ryan Reynolds, yang lebih memilih bertindak dengan akal dibanding dengan kekuatan seperti Grug.
Kirk De Micco dan Chris Sanders boleh dibilang punya ide yang cukup menarik. Mereka sebetulnya tidak menghadirkan sebuah tontonan yang berlaku buat anak-anak, tetapi menurut saya termasuk orangtua ataupun anggota keluarga yang lain. Film ini perlu dibilang tidak menonjolkan penampilan para karakternya. Cantik? Tinggi? Gagah? Imut? Ganteng? Semuanya tidak ada di film ini. Penokohan karakternya memang ditampilkan seperti caveman biasa yang untungnya masih bisa bertahan hidup.
Yang membuat saya takjub dengan film ini adalah bagaimana film ini punya adegan action yang menarik. Salah satu favorit saya adalah ketika adegan menangkap telur yang diikuti oleh spesies-spesies yang tersisa. Saya sangat menyukai saat menyaksikan Sandy, adik terkecil Eep, yang bisa seperti anjing liar bila dilepas. Mungkin deskripsi tersebut terkesan cukup kasar, akan tetapi demikianlah cara The Croods bisa bertahan.
Tidak hanya membuat penonton berdebar-debar dan terbahak-bahak dengan aksi satu keluarga ini saja, film ini juga punya cerita keluarga yang lumayan menyedihkan. Hubungan Grug dan Eep menjadi salah satu elemen cerita dalam film ini yang cukup digali. Tetapi juga, konflik internal dalam diri Grug juga jadi bagian cerita yang menarik. Otot memang kuat, tetapi selalu kalah cerdik dari otak.
Selain dari aspek ceritanya, saya menyukai penggambaran dunia The Croodaceaus, yang berisi dengan makhluk-makhluk fantasi versi purba dan pencampuran beberapa hewan. Misalnya, seperti singa raksasa yang punya tubuh berwarna pelangi, ataupun paus besar yang punya kaki. Pemandangan unik ini semakin memainkan imajinasi saya ketika menampilkan pemandangan-pemandangan alam yang menakjubkan mata.
Dibekali dengan ide yang sederhana, namun dibalut imajinasi yang menarik, jadilah film ini. Mungkin “The Croods” hanya akan jadi sebatas yang terlupakan dan cukup tahu saja buat saya. Akan tetapi semuanya berubah ketika menyadari pesan ceritanya yang terkesan sederhana bisa menjadi sesuatu tontonan penuh refleksi bagi seisi keluarga.