Penuh kejutan, disturbing, namun tetap wajar ditonton! “The Lobster” adalah sebuah debut film berbahasa Inggris bagi Yorgos Lanthimos, sutradara kenamaan asal Yunani yang lebih dikenal baru-baru ini lewat film “Dogtooth.”
Kepergian sang istri membuat David harus masuk ke dalam sebuah hotel, hotel megah yang punya fasilitas cukup oke. Sayangnya, hotel ini layaknya sebuah pusat rehabilitasi. Sebagai seseorang yang kini hidup sendiri, atau disebut sebagai loner, David terpaksa harus mengikuti aturan main masyarakat pada zaman tersebut. Ia diberi waktu selama 45 hari untuk mencari pasangan yang memiliki kesamaan dengannya atau ditransformasi menjadi binatang sesuai dengan permintaannya. Untuk memperpanjang durasinya, setiap Ia berhasil memburu seorang loner, Ia mendapat hadiah perpanjangan 1 hari.
Yah, cukup keras aturan yang digunakan di hotel ini. Bila Ia sudah berhasil mendapatkan pasangan, Ia akan diberikan upgrade ke double room selama 14 hari, ditambah fasilitas bagi para pasangan. Bila mereka lolos, selanjutnya mereka berhak untuk menghabiskan 15 hari di sebuah yacht dan juga dikaruniai seorang anak, sebelum mereka diperbolehkan kembali ke masyarakat sebagai pasangan.
Tapi jangan senang dulu, kesemuanya hal ini berada dalam pengawasan pengurus hotel. Para peserta wajib memperlihatkan kesamaan minat, sikap ataupun penyakit mereka, dan tidak boleh terlihat berkelahi atau tidak cocok. Bila batas waktu ini telah habis, mereka bisa diam-diam keluar dari hotel dan bergabung dengan para loner, atau dimasukkan ke dalam ruang transformasi menjadi hewan yang mereka pilih.
Lanthimos menghadirkan sebuah imajinasi akan dunia yang cukup dilematis, penuh propaganda, dan sulit. Memilih berada dalam komunitas sah yang menuntut harus berpasangan, dengan sebuah masa percobaan bagi para anggota yang baru ditinggalkan oleh pasangannya. Atau, berada dalam komunitas para penyendiri, yang hidup berpindah-pindah demi bertahan hidup, dan memberi hukuman keras bagi siapapun yang punya keinginan dan hasrat mencintai sesama mereka. Tetapi semuanya kembali lagi, hidup adalah sebuah pilihan. Betul bukan?
Sayang saja, karakter utama kita yang bernama David, diperankan oleh Colin Farrell, adalah seseorang yang cukup datar, penuh kejutan, tidak munafik, tetapi cukup cerdas. Saya cukup tidak menyangka ketika Ia lebih tertarik pada seorang wanita berdarah dingin yang telah membunuh 192 loner, dan tidak tertarik untuk bersembunyi dari dalam kelamnya sistem bermasyarakat kala itu. Dikutip dari ucapan narator, “One day, as he was playing golf, he thought that it is more difficult to pretend that you do have feelings when you don’t than to pretend you don’t have feelings when you do.”
Kedua dunia ini digambarkan Lanthimos melalui karakteristik yang menarik. Dunia berpasangan lebih menyukai musik-musik yang bisa membuat orang berdansa. Bedanya, dalam dunia para penyendiri mereka lebih menyukai musik elektronik, dengan memasang musik melalui headphone dan gadget, dan autis dengan diri mereka sendiri.
Dari penyajian filmnya, perlu diakui, Lanthimos terkesan cukup ambisius untuk meningkatkan ketegangan ceritanya lewat musik pada adegan-adegan tertentu. Irama alunan gesekan alat musik gesek seraya mengingatkan saya dengan nada-nada penuh teror ala “Psycho.” Akan tetapi, peran musik dalam film sangat penting dalam proses dramatisasi ceritanya. Salah satunya adalah ketika adegan favorit saya, dimana David dan rekan-rekannya berburu para loner di hutan, yang diambil dengan slow motion dan diiringi lagu “Apo Mesa Pethamenos” yang dinyanyikan oleh Danae. Adegan disini sungguh luar biasa! Momen terbaik di film lewat kegiatan berburu loner, yang diawali masuk ke hutan, lalu aksi perburuan yang cukup brutal.
Selain itu, uniknya, tidak ada penamaan karakter selain David. Semua tokoh pendukung dalam film ini hanya diperkenalkan lewat karakteristik ataupun jabatan mereka. Misalnya, manajer hotel, wanita berpenglihatan dekat, lelaki pincang, hingga wanita penggemar biskuit mentega. Lanthimos juga menghadirkan selipan narasi-narasi detil yang seakan berbicara dari sudut pandang David.
Dari para pemerannya, saya paling suka penampilan Colin Farrell dalam film ini. Farrell bisa dengan cerdiknya memperlihatkan kedataran yang berujung pada kegemasan buat saya sebagai penonton. Selain itu, sosok Manajer hotel yang diperankan Olivia Colman, juga menghidupkan kesan artistik di film ini lewat sosok karakternya hadir dengan raut wajah yang sering cemberut dan punya peran penting dalam ceritanya. Selain keduanya, masih ada Rachel Weisz, Ben Whishaw, John C. Reilly, Léa Seydoux hingga Angeliki Papoulia, yang patut untuk diperhitungkan.
“The Lobster” adalah sebuah tontonan orisinil yang menarik. Penuh dengan kekontrasan dan propaganda, yang sebetulnya kadang tidak kita sadari terjadi dalam realita. Film ini berhasil meraih jury prize dalam ajang Cannes Film Festival, dan meraih beberapa nominasi dalam ajang British Independent Film Awards. Akan ada banyak satir yang akan ada temui dalam film ini, mengisahkan banyak karakter yang kurang beruntung dengan masing-masing keunikan mereka. Jadi Anda pilih yang mana: hidup berpura-pura demi mengamankan status Anda, atau berani mengambil risiko demi menenangkan hidup Anda?