Terinspirasi dari sebuah mitos masyarakat Austria-Bavaria, “Krampus” hadir sebagai tontonan natal yang cukup disturbing, bila dibandingkan dengan film bertema sama yang kadang cukup terpusat dengan kisah keluarga, komedi dan petualangan.
Malam itu, adalah tanggal 22 Desember, tiga hari menjelang natal. Max, diperankan oleh Emjay Anthony, bersama keluarga sedang bersiap-siap menunggu kehadiran keluarga adik Ibunya, Paman Howard dan Bibi Linda, yang diperankan oleh David Koechner dan Allison Tolman. Disaat itu, keluarga tersebut sudah mulai mengalami masalah: Ayah Max yang masih terganggu dengan urusan kantor, Ibu Max yang kesal dengan perilaku Ayah Max, Kakaknya yang kuatir dengan kehadiran saudari-saudari anehnya, hingga Nenek Max yang sibuk sendiri menyiapkan kue natal.
Kehadiran keluarga Linda ternyata memang hanya membawa bencana. Selain keempat anaknya, mereka juga membawa bibi Dorothy, tante Ibu Max yang super negatif. Alhasil, makan malam pertama mereka sudah berakhir dengan ricuh. Permasalahannya simpel, surat Max yang ditujukan ke Santa Claus diambil diam-diam oleh anak Linda. Akhirnya, Max kesal dan membuang surat tersebut. Tak lama setelah itu, keluarga ini diganggu oleh Krampus dan kawanannya untuk memenuhi kesedihan Max di tengah hilangnya semangat natal di keluarga mereka.
Bicara mengenai kisahnya, film ini cukup sedikit memberikan kesan mind-blowing karena merupakan tontonan natal yang suram. Mulai dari karakter demi karakter yang satu per satu kian hilang dari cerita, konflik antar karakter yang semakin runyam, hingga situasi cerita yang sebetulnya tertebak namun tidak enak untuk dilalui. Membandingkan durasi dengan pace ceritanya, film ini hanya sekitar satu setengah jam, dan pertengahan kisahnya baru hanya memakan 2 korban. Jadi bisa dikatakan, cukup punya durasi yang agak lama untuk mengatur adaptasi penonton, dan cukup pas untuk saya agar bisa memahami kisahnya.
Dari jajaran cast-nya, mungkin tidak ada satu pun yang cukup spesial. Namun karakter Omi, yang diperankan oleh Krista Stadler, cukup berhasil tampil misterius dan terus membuat saya bertanya-tanya dengan status karakternya. Dari penyajian, sebetulnya tidak ada sesuatu yang berkesan. Sebagian besar cerita mengambil setting di rumah keluarga, dengan melibatkan kadang di luar rumah yang sudah diselimuti salju tebal.
Monster-monster dengan karakter unik memang cukup jadi suguhan menarik. Misalnya, ketika sosok gingerbread yang kadang ditampilkan imut dan lucu harus berubah jadi sosok pembunuh. Sisanya, seperti boneka-boneka pembunuh mungkin sudah cukup dijumpai dalam horor sejenis, namun cukup memainkan rasa takut penonton lewat rentetan ancaman mereka.
“Krampus” mungkin bukanlah sebuah tontonan natal yang tepat. Akan tetapi, film ini adalah sebuah refleksi ketika ketiadaan akan harapan pada natal akhirnya harus berakhir dengan hasil yang tidak mengenakkan.