Sebagai salah satu pemenang dalam festival Sundance di tahun 2012, “Robot and Frank” berkisah tentang kehidupan seorang kakek, yang hidup sendiri dan sedang mengalami disorientasi akibat kepikunan yang dideritanya.
Nama kakek ini adalah Frank, cukup serupa dengan aktor pemerannya yang bernama Frank Langella. Dari kehidupan pernikahannya, Ia mempunyasi sepasang anak. Yang paling tua bernama Hunter, diperankan oleh James Marsden. Satunya lagi bernama Madison, yang diperankan oleh Liv Tyler. Madison memiliki profesi sebagai seorang philantrophist di Turkmenistan, yang membuat Ia hanya bisa berkomunikasi dengan Ayahnya melalui telepon. Lain dengan Hunter, yang sering menyisihkan waktu keluarganya untuk mengunjungi ayahnya.
Suatu saat, Hunter membawakan Frank sebuah robot bertipe VGC-60L, yang diperagakan oleh Rachel Ma dan disuarakan oleh Peter Sarsgaard. Robot mahal ini sengaja dibeli Hunter untuk menjaga kondisi kesehatan sang ayah yang mulai Ia kuatirkan. Malangnya, Frank menolah mentah-mentah barang mahal tersebut. Ia merasa aneh bila Ia harus beraktifitas dan hidup dengan sebuah robot. Namun, buat Hunter penolakan yang dilakukan ayahnya tidak berujung untuk memenuhi permintaan ayahnya. Ia tetap meninggalkan robot itu.
Kehidupan pun mulai terasa aneh ketika Frank harus menghabiskan dengan robot tak bernama ini. Robot ini membersihkan rumah, hingga menyiapkan makanan-makanan sehat baginya. Ia juga mengatur jadwal Frank, dan bercocok tanam di halaman belakang. Tidak terima dengan perlakukan Hunter, Frank kemudian menghubungi Madison. Madison mengganggap Hunter sudah terlalu jauh dalam memperlakukan sang ayah dan memutuskan pulang ke rumah. Sesampai disana, Ia mencoba mematikan si robot dan Ia kemudian terkejut ketika Frank malah makin menjadi-jadi.
Kisah yang ditulis Christopher Ford, dengan setting masa depan, dihadirkan cukup sedikit futuristik. Memang penonton tidak akan menyaksikan berbagai macam hal yang serba futuristik seperti menyaksikan “2001: A Space Odyssey,” namun Ford bisa menghadirkan beberapa macam hal yang sempat mencuci mata penonton di bagian awal: handphone transparan, video call via televisi, mobil ramping, hingga robot pustakawan.
Fokus dalam cerita ini adalah pada karakter Frank. Frank yang semakin menua, tidak menyadari banyak hal yang sudah berubah. Misalnya ketika Ia bertemu dengan Hunter, Ia selalu menanyakan kehidupan kuliahnya, yang sebetulnya sudah lewat lama sekali. Ataupun tempat makan favoritnya yang sudah tutup, namun masih ingin dikunjunginya. Alhasil, masalah yang timbul berangkat dari sikap Frank, yang kelihatan memang senang untuk mencari gara-gara.
Ensemble cast dalam film ini cukup mengagumkan, terutama Frank Langella yang tetap membuktikan kualitasnya pasca “Frost/Nixon.” Saya juga menyukai karakter pendukung yang diperankan oleh James Marsden dan Liv Tyler, hingga karakter Susan Sarandon yang akan memberi kejutan. Penataan ceritanya dikemas begitu realistis, yang memperlihatkan penonton pada aktivitas-aktivitas Frank sepanjang hari.
Yang paling saya sukai dari film ini adalah bagaimana Frank bisa membuka dirinya untuk mau bekerja sama dengan si robot. Adegan-adegan ini cukup menarik dan lucu, karena dari situlah tingkat kedekatan Frank pada si robot meningkat. Jake Schreier, sutradara film ini, bisa dibilang cukup berhasil untuk membawa penonton masuk ke dalam ceritanya yang singkat, terutama dalam memperkenalkan penonton pada masa depan yang sudah di depan mata.