Sebagai salah satu yang ditayangkan dalam festival Europe On Screen 2016 di akhir April ini, “In Order of Disappearance” telah membuka kegiatan melalui aksi nonton bareng pre-event EOS 2016. Film buatan Norwegia ini akan menceritakan aksi balas dendam seorang imigran, lewat sentuhan black comedy yang dibalut dengan penuh aksi.
Nils Dickman, yang diperankan oleh Stellan Skarsgård, baru saja mendapatkan penghargaan sebagai Citizen of the Year di tempat tinggalnya. Padahal, Ia merupakan seorang imigran asal Swedia yang kemudian pindah ke Norwegia dan berprofesi sebagai pembersih salju di jalanan. Dengan mobil kuning yang agak mirip bulldozer, Dickman membelah salju yang telah menutupi sepanjang jalan.
Suatu ketika, anak Nils, Ingvar, diperankan oleh Aron Eskeland, ditemukan telah tidak bernyawa. Pemeriksaan yang dilakukan polisi memperlihatkan kalau Ia mengalami overdosis. Disaat yang sama, kebanggaan sebagai masyarakat teladan seakan telah menjadi beban moral pada Nils. Kematian putra tunggalnya ini seperti membuat kehidupannya runtuh: tak ada anak dan ditinggal sang istri. Ia sangat yakin bila anaknya bukanlah seorang pemakai. Akibat ketidakadilan tersebut, Ia kemudian dengan nekat menyusun sebuah rencana, yaitu mencari pelaku pembunuh anaknya.
Sepanjang 114 menit Hans Petter Moland, sutradara film ini, menampilkan sebuah kisah brutal yang diceritakan dengan cara yang cukup menyenangkan. Moland membagi ceritanya ke dalam beberapa bagian yang diselingi dengan sebuah layar hitam berisi nama karakter yang gugur. Ini sedikit mengingatkan saya dengan cara “Battle Royale” menyimpulkan setiap bagian ceritanya dengan cara serupa. Namun, dalam versi Moland, ini lebih minimalis dengan dipadukan simbol, nama panggilan dengan nama lengkap karakternya.
Berbicara kisahnya, yang dikarang Kim Fupz Aakeson, sungguh sangat menarik. Teringat kembali dengan sebutan “nyawa yang harus dibalas dengan nyawa,” layaknya tragedi Ken Arok, membawa penonton untuk menikmati ceritanya yang menjadi semakin keruh. Aaakeson mengemas peristiwa balas dendam cerdik ala Nils dengan cukup menggunggulkan sosok antagonis utama Greven, yang diperankan Pål Sverre Hagen, lewat karakter yang terlihat perlahan-lahan rapuh namun penuh lelucon, tetapi juga sangat dingin.
Saya cukup menyukai bagaimana perubahan karakter utamanya yang dimainkan Stellan Skarsgård. Skarsgård seperti memposisikan dirinya sudah tidak bernilai dengan rentetan kehancuran yang ada di depannya. Mulai dari berhasil menjadi penduduk teladan di negeri orang, hingga berubah menjadi pembunuh sadis diatas ekspektasi. Ini belum termasuk dengan aksi balas dendam yang diperkeruh dengan persaingan dua kelompok mafia. Dickman secara tidak langsung berhasil memancing keributan yang berakhir penuh pembunuhan.
Durasi film ini terbilang cukup wajar. Jujur saja, saya cukup agak sedikit mengantuk ketika mengikuti kisahnya. Akan tetapi, Moland tahu bagaimana memberi kejutan pemecah suasana, lewat adegan-adegan situasi bernafaskan komedi gelap yang akhirnya membuat penonton tetap memperhatikan kisahnya.
Yang juga menarik, film yang cukup niat dibuat namun bernuansa sedikit minimalis cukup didukung dengan aransemen background score oleh Brian Batz, Kaspar Kaae, dan Kåre Vestrheim. Ketiganya memberikan suasana kelam, lewat musik-musik yang dipadukan dengan efek-efek. Sound mixing film ini juga lumayan oke, bisa menyatukan semuanya dengan sepadan.
“In Order of Dissapearance” berhasil menjadi sebuah tontonan sadis yang cukup menyenangkan, walaupun terkesan di hantarkan cukup dingin. Salah satu official selection Berlin Film Festival 2014 ini patut jadi pilihan tontonan yang menarik.