Kali ini saya ingin mengajak penonton untuk kembali mengenang peristiwa kecelakaan kereta api terbesar di Indonesia dalam “Tragedi Bintaro.” Kejadian naas yang terjadi pada 19 Oktober 1987 ini dibuat ke dalam versi layar putih dua tahun setelahnya.
Bila anda belum pernah menyaksikan film ini, jangan pernah berharap untuk mendapatkan kisah se-dramatis “Titanic.” Film ini diangkat dari kisah nyata seorang korban selamat yang bernama Juned, yang diperankan oleh Ferry Octora.
Juned adalah anak kedua dari lima bersaudara. Mereka tinggal bersama nenek mereka, Nenek Minah, yang diperankan oleh Roldiah Matulessy. Kedua orang tua mereka sedang dalam proses cerai. Sang ayah, Effendy, yang diperankan oleh Asrul Zulmy, adalah seorang montir yang punya penghasilan tidak menentu. Sedangkan sang Ibu, diperankan oleh Lia Chaidir, sedang dalam masa terburuknya dan jatuh sakit.
Tidak ada yang terlalu spesial pada sosok Minah. Namun, nenek Minah yang hanya berprofesi sebagai tukang pijat dan tukang cuci ini mulai semakin tua. Kemampuan mencucinya sudah tidak saat Ia muda, dan tubuhnya mulai sering encok. Untung saja, Ia dikelilingi lima orang cucu yang membuat kehidupan di rumah cukup berwarna, walaupun untuk makan saja pas-pasan.
Film buatan tahun 1989 ini disutradarai oleh Buce Malawau, dan diproduseri oleh Bucuk Suharto. Bicara tentang penggarapan ceritanya yang dikemas oleh Marselli, film ini cukup memperlihatkan kemiskinan di ibukota yang tergambar dari keluarga Juned. Tidak hanya kemiskinan, namun juga memperlihatkan kehidupan ibukota yang sampai sekarang masih dapat kita rasakan. Misalnya, seperti kehidupan Juned yang setiap hari diberi makan sayur dan ikan asin, lalu Ia harus berjualan koran, dan Mulyadi, kakak Juned yang tidak boleh bersekolah karena belum membayar uang sekolah selama 4 bulan.
Namun, kembali lagi, bagi Nenek Minah, Ia ingin agar cucu-cucunya dapat hidup tenang dan tidak menggangu orang tua mereka yang sedang berencana berpisah. Mimpinya, Ia ingin kembali ke desa, dapat hidup dengan tenang tanpa tersakiti dengan kerasnya kehidupan Ibukota. Untuk itulah Ia memutuskan untuk mengajak kelima cucunya kembali ke kampung halamannya.
Sebuah kisah kehidupan yang tragis, namun cukup menyentuh. Semua berkat jajaran pemainnya yang sangat membumi dalam memainkan peran mereka, terutama pada Ferry Octora, bintang cilik pemeran Juned. Entah kenapa, karakter Juned yang suka ngambek dan cukup sensitif akan keluarganya mampu menjadi sosok sentral cerita sedih ini. Saya juga menyukai penokohan setiap karakter film ini, serta bagaimana Zulmy, Matulessy hingga Chaidir mampu memerankan sosok sebagai orang tua dan menghadirkan chemistry yang cukup baik dengan para aktris cilik film ini.
Bicara tentang penggarapannya, film ini dikemas Malawau dengan cukup realis. Malawau mengandalkan banyak set-set yang dapat kita kunjungi saat ini: pemakaman Tanah Kusir, stasius Sudirman, hingga Dunia Fantasi Ancol. Keberadaan ini diperkuat lewat tata sinematografi William Samara, yang berhasil menangkap kesesakan dan kepadatan Jakarta. Saya juga cukup menyukai aransemen pengiring yang dikemas Suka Hardjana, yang dari awal seakan memberi hawa tragedi pada film ini.
Film ini berhasil meraih 11 nominasi dalam Festival Film Indonesia 1989, yang saat itu dibabat habis oleh “Pacar Ketinggalan Kereta”-nya Teguh Karya. Akan tetapi, peran Ferry Octora sebagai Juned berhasil memenangkannya sebuah Piala Kartini sebagai Pemeran Anak-anak Terbaik.
Film ini ditutup dengan cukup membuat saya merinding. Sosok Juned yang asli menampakkan dirinya sambil berkata, “Sayalah Juned, salah seorang korban musibah tabrakan kereta api di Bintaro. Saya berterima kasih karena kisah kami sekeluarga diangkat ke layar putih lewat film ini, moga-moga ada hikmahnya bagi kita semua.” Cukup singkat, tetapi masih membuat bulu kuduk berdiri.
Akhirnya, salah satu keinginan saya untuk menyaksikan film ini terjawab, setelah menyaksikan versi restorasi yang ditampilkan di FlikTV. Pada beberapa bagian, memang masih ada yang kurang sempurna, terutama untuk tata suara. Namun, ini masih lebih baik ketimbang menyaksikan versi VCD yang kadang membabat habis original aspect ratio film. “Tragedi Bintaro” mungkin adalah film tragedi Indonesia yang paling berkesan buat saya sejauh ini.