Menyaksikan “Amarcord,” penonton akan cukup dikejutkan dengan kisahnya. Bagaimana tidak? Film ini tidak memiliki sebuah plot yang dijelaskan dengan cukup detil, dan cukup chaos. Federico Fellini menggambarkan sebuah maha karya yang cukup membuat saya sedikit menganga. Kerumitan film ini belum lagi ditambah dengan banyaknya karakter-karater yang ditampilkan.
Amarcord sendiri bermakna “I Remember.” Film ini tepatnya merupakan sebuah semiautobiografi Federico Fellini akan masa lalunya. Ia berusaha mengingat setiap kenangan yang dituangkan menjadi sebuah tontonan. Jika anda hanya menyukai tontonan mainstream, saya cukup tidak menyarakan film ini, jangan pernah berharap untuk mendapatkan sebuah tontonan yang menyenangkan. Film ini memperlihatkan tradisi-tradisi yang ada di sebuah kota, seperti perayaan-perayaan mereka. Ceritanya juga dilengkapi dengan sebuah narasi yang diutarakan oleh seorang ahli sejarah kota tersebut, hingga kisah-kisah dibalik beberapa karakter.
Menariknya, tidak ada cast yang hadir cukup menonjol. Fellini dengan cerdik berhasil menyamakan bagian masing-masing dengan cukup seimbang. Hal ini kemudian berdampak dengan kesan agak berat untuk mempelajari karakter tokoh satu per satu bila hanya sekali menonton. Dari banyaknya tokoh, mungkin sosok Gradisca yang cukup mendapat perhatian saya, sebab Ia membawa penonton ke dalam perjalanan akhir film ini.
Fellini memang sudah tidak diragukan lagi. Kiprahnya sebagai maestro perfilman modern Italia berhasil menarik perhatian dunia Hollywood. Sepanjang kariernya, Ia berhasil meraup empat piala Oscar untuk kategori Best Foreign Language. “Amarcord” adalah film terakhirnya yang memenangkan penghargaan tersebut, menyusul setelah “La Strada” (1954), “Nights of Cabiria” (1957), dan “8 ½” (1960). Ia juga berhasil mendapatkan 12 nominasi Oscar untuk kategori individual, namun tidak pernah meraihnya sebelum mendapatkan sebuah Honorary Award di tahun 1993, tidak sebelum Ia mengembuskan nafas yang terakhir. Prestasi ini belum ditambah dengan sebuah Palme D’Or atas film “La Dolce Vita” di tahun 1960.
Ada satu adegan yang cukup tidak terlupakan bagi saya di film ini. Tepatnya ketika para penduduk beramai-ramai pergi ke tengah laut untuk bertemu dengan sebuah kapal laut dari Amerika. Jika diperhatikan dengan seksama, adegan tersebut sangat terlihat sebuah rekayasa. Karena sangat jelas adegan ini dilakukan di sebuah studio, sebab tidak terlihat adanya air, melainkan kain terpal yang bergelombang. Bagaimanapun juga, film ini terlihat dikerjakan dengan cukup serius oleh Fellini.
Selain itu, apa yang membuat film ini menarik ada pada unsur musiknya. Nino Rota, yang juga menjadi composer di film The Godfather Trilogy, memberikan sebuah movie theme yang cukup baik, sebab main theme film ini di ulang beberapa kali dalam versi-versi yang berbeda. Juga, membuat Anda akan teringat dengan film ini bila mendengar lagu tersebut, sebab main theme tersebut seakan kental hanyut di dalam cerita film ini.
Akhir kata, “Amarcord” adalah sebuah film yang cukup luar biasa untuk di jamannya. Kini, Ia telah menjadi sebuah klasik Fellini yang patut menjadi contoh untuk film-film saat ini. Pembawaan suasana yang begitu hidup, hingga musik elegan yang kental menyatu, memang akan membuat penonton seakan teringat dengan kenangan seperti yang Fellini coba lakukan lewat film ini.