Sekali lagi, film karya anak bangsa berhasil terpilih sebagai official selection Venice Film Festival. Kini giliran Joko Anwar, sutradara “Modus Anomali” yang mewakili Indonesia dengan “A Copy of My Mind.” Film berdurasi 116 menit ini mengangkat kisah tentang kritikan politik Anwar melalui percintaan sepasang kekasih kelas bawah di Jakarta.
Jakarta tidak dihadirkan seindah biasanya. Kemacetan, padatnya penduduk yang berkesan sumpek, hingga suara adzan yang saling beradu, hanya menjadi segelintir gambaran Anwar. Penonton akan mengikuti ceritanya, berkenalan dengan sosok Sari, diperankan oleh Tara Basro. Sari adalah satu jutaan orang yang melakukan urbanisasi di Jakarta, demi kehidupan yang lebih baik. Ia berprofesi sebagai tenaga facial di sebuah salon kelas bawah.
Sari adalah pecinta film. Ia menggemari membeli DVD bajakan, yang mudah ditemuinya di sudut pertokoan. Sayangnya, Ia cukup bergantung dengan terjemahan dalam DVD tersebut. Suatu ketika, Ia membeli film dan mendapati kalau film tersebut tidak disertai dengan terjemahan yang baik. Ia kemudian memprotes pedagang yang menurutnya tidak berlaku jujur. Menurutnya, walaupun Ia beli bajakan, Ia tetap membelinya dengan uang.
Sengketa tersebut membuat Ia bertemu dengan Alek, diperankan oleh Chicco Jerikho. Alek merupakan penerjemah DVD bajakan di toko tersebut dan sedang berkunjung ke sana saat itu. Pertemuan pertamanya dengan Sari ternyata berlanjut dengan mekarnya percintaan keduanya.
Suatu ketika, Sari berniat untuk bekerja di tempat yang lebih baik. Ia melamar di sebuah pusat perawatan tubuh yang jauh berkelas dibandingkan tempat kerjanya. Alhasil, Ia berhasil bekerja di sana dan menjalani proses training sebelum ditugaskan melayani customer. Hari yang ditunggu itu tiba, Ia ditugaskan untuk melayani Ibu Mirna, pelanggan pertamanya, yang tinggal di penjara. Pertemuan pertama dan kecerobohannya ternyata membawanya ke dalam situasi yang tidak pernah dibayangkannya.
Anwar menampilkan sebuah tontonan yang kaya akan observasi. Bagian awal film ini, sepanjang satu setengah jam hanya akan terfokus pada kedua karakter utamanya. Anwar berusaha menampilkan setiap situasi se-realis mungkin, dan sengaja memberi sentuhan kamera yang mengikuti pemainnya. Sentuhan ini cukup menggangu penonton yang belum terbiasa, terutama saya. Saya cukup terganggu dengan adegan-adegan dimana Anwar terkesan kehilangan fokus dalam penggambaran, bukan makna.
Chicco Jerikho dan Tara Basro merupakan magnet di film ini. Keduanya berhasil memperlihatkan chemistry yang tiada duanya. Sari hidup berada di bawah bayang-bayang Alek, dan begitu sebaliknya. Keduanya juga menghadirkan adegan percintaan yang cukup “panas” untuk ukuran Indonesia, apalagi dengan tambahan keringat disana-sini yang terlihat cukup hot.
Bila membandingkan dengan “Siti,” film ini masih kalah dalam penyampaian cerita dan permainan empati ke penonton. “Siti” jauh lebih unggul untuk bermain dengan hati, perasaan, dan pikiran penonton. Alhasil, “A Copy of My Mind” akan menjadi sebuah tontonan yang begitu saja bagi para penonton yang kurang peka, dan berlaku sebaliknya bagi mereka yang paham.
Menyaksikan “A Copy of My Mind” bagaikan menikmati hidangan khas Asia yang penuh bumbu dan citarasa. Sindiran politik dan banyak masalah sosial diangkat Anwar, ditampilkan cukup implisit, penuh makna. Untuk ukuran orang Jakarta, anda akan dengan mudah mengerti apa yang ingin disuarakan Anwar. Skandal politik, “Apel-apel”, penjara mewah, kekerasan tempat kerja, kejahatan berbasis kemiskinan, penduduk tanpa identitas, hingga pemilihan presiden baru dan masih banyak lagi. Tontonan ini cukup berhasil untuk hadir berbeda dan memberi standar yang cukup tinggi bagi genre-nya. A must watch film….