Setelah sukses mengambil hati melalui “Birdman”, Iñárritu kembali menghadirkan sebuah tontonan survival sangat berbobot melalui “The Revenant.” Kisah dalam film ini mengisahkan perjuangan seorang petualang sekaligus pemburu kulit bernama Hugh Glass.
Hugh Glass, yang diperankan oleh Leonardo Di Caprio, sedang terlibat sebuah pemburuan kulit di hutan Amerika. Ia bersama anaknya, Hawk, yang diperankan Forrest Goodluck, dan juga rekan-rekan yang tergabung dalam kelompok Louisiana Purchase, dibawah komando Captain Andrew Henry, yang diperankan Domhnall Gleeson.
Suatu ketika, kelompok mereka diserang oleh salah satu indigenious tribe yang menghuni hutan tersebut. Mereka adalah suku Arikara, yang dipimpin oleh tetua mereka yang dipimpin oleh Chesley Wilson. Penyerangan ini diakibatkan oleh karena hilangnya putri kepala suku yang bernama Powaqa, yang diperankan Melaw Nakehk’o. Powaqa diculik oleh dua orang pendatang dan membuat Arikara akan menyerang segala kelompok pendatang yang mereka temui. Sialnya, kelompok yang ditemui adalah kelompok Louisiana Purchase.
Penyerangan ini memberikan sebuah kekalahan yang amat besar. Tersisa 10 orang, Captain Henry dan anak buahnya berusaha untuk menyelamatkan diri, yaitu kembali ke markas. Mereka cukup bergantung pada Hugh Glass, yang cukup memahami wilayah disana. Sayangnya, sebuah malapetaka terjadi. Ketika Glass sedang mencari jalan sendirian, Ia diserang oleh seekor Grizzly Bear yang membuatnya hampir tak berdaya.
Sebuah tontonan yang sangat mempesona. Iñárritu kembali menghadirkan survival thrilling action yang dipadukan dengan sedikit gaya shot khasnya seperti di “Birdman”, yang merupakan hasil kolaborasi sekian kalinya bernama sinematografer Rodrigo Prieto. Kesan realistis yang ditawarkan membuat “The Revenant” menjadi salah satu tontonan yang benar-benar mengajak penonton untuk ikut serta dalam kisahnya.
Bicara tentang Hugh Glass sendiri, sebetulnya karakter ini memang pernah ada. Ia sangat fenomenal tentang perjuangannya mampu bertahan hidup setelah diserang oleh Grizzly Bear, tepatnya seperti yang diceritakan film ini. Kisah dalam film ini memang tidak 100% sama seperti aktualnya, tetapi ini hanya sebuah versi yang terinspirasi. Naskahnya dikemas oleh Mark L. Smith dan Iñárritu dari sebuah novel berjudul sama karangan Michael Punke yang dirilis 2002 silam. Keduanya menghadirkan plot maju yang sering diselingi dengan ingatan-ingatan Glass, dan memang cukup minim dialog.
What makes this movie so great? Everything. Saya cukup menyukai dengan bagaimana Ia menampilkan shot-shot dengan latar keindahan natural yang cukup tajam dengan dominasi warna biru. Tidak heran, sebagian besar gambar dalam film ini diambil di Canada, Argentina dan Amerika Serikat. Yang menarik, Iñárritu tidak mau untuk mengandalkan CGI dalam penceritaannya, sebuah poin plus yang membuat film ini menjadi semakin menarik.
Selain itu, dalam bagian acting, kombinasi Leonardo Di Caprio dan Tom Hardy adalah salah satu yang terbaik di 2015. Di Caprio untuk kesekian kalinya kembali menghadirkan sebuah penampilan berbobot yang mungkin akan cukup sulit untuk ditandingi. Salah satu yang cukup mengejutkan saya adalah ketika Ia berusaha menghangatkan dirinya dengan berlindung di dalam sebuah tubuh kuda sambal telanjang ataupun ketika Ia memakan ikan hidup-hidup.
Tidak ketinggalan, peran antagonis yang diperankan Tom Hardy, benar-benar akan cukup menyebalkan. Karakter Fitzgerald yang diperankan Hardy, memang cukup talkie, materialistic and a little bullshit for me. Akan tetapi ini menandakan kalau aktor tampan ini berhasil menghidupkan karakternya.
Beware! There’s a lot of disturbing scene in this movie… Yes, a lot. Kesan realistis yang coba diperlihatkan memang cukup ekstrim. Mulai seperti adegan saat penyerangan Grizzly Bear, lalu kerongkongan Di Caprio yang berlubang membuat ketika Ia minum air tersebut juga mengalir keluar dari tenggorokannya. Juga, one of my favourite scene ketika Di Caprio dan Hardy melakukan duel. Di Caprio menggunakan sebuah kapak dan Hardy menggunakan sebuah pisau kecil, dan cukup ada sedikit adegan potong-memotong.
Alasan tersebut membuat saya cukup kagum dengan kerja keras Sian Grigg, Duncan Jarman dan Robert A. Pandini. Ketika tampak hebat untuk memperlihatkan segala hal yang cukup disturbing buat saya. Ini lagi belum ditambah aransemen skor musik Ryuichi Sakamoto dan Carsten Nicolai yang punya kesan thrilling dan mendalam dalam setiap lagunya.
Tidak mengherankan bila The Revenant mampu meraup 12 nominasi dalam ajang Academy Awards ke 88. Menyabet hampir keseluruhan nominasi-nominasi penting, kecuali Actress dan Writing, dan memberikan sinyal peluang yang cukup aman bagi Di Caprio yang sudah terlalu unggul di kategorinya.
Overall, film ini adalah salah tontonan yang perlu ditonton. Walaupun cukup panjang dan memang tidak dikemas bagi semua umur, film ini sedikit menyentil bagaimana Kaum Indian yang kehilangan tanah dan alam mereka ketika didatangi para pendatang dari Eropa. Ada beberapa quote dari Glass yang menarik perhatian saya di film ini: “Revenge is in god’s hands not mine” serta “As long as you can still grab a breath, you fight. You breathe… keep breathing.” Excellent!
