Ada tiga jenis manusia di dunia ini: pria, wanita dan aktris. Kalimat pembuka film ini cukup memberi pertanyaan besar dalam benak saya. Mengapa aktris? Lee J Yong, sutradara sekaligus perancang cerita “Actresses” ini, mengajak penonton memaknai istilah tersebut dari behind-the-scene sebuah sesi pemotretan Vogue Korea.
Dalam rangka membuat sebuah edisi khusus, Vogue Korea berniat melewati golden rule industri disana. Mereka mengundang enam leading actress dari beberapa generasi untuk melakukan sesi pemotretan bersama dengan tema “Actresses, More beautiful than a gem” di malam natal 2008. It’s going to be a pathetic, but show must go on…
Empat menit pertama film ini dimulai dengan wawancara singkat keenam aktris. Para aktris menceritakan perasaan mereka saat menjalani pemotretan, seperti melakukan ‘hal yang tidak biasa’ bagi mereka.
Aktris pertama kita adalah Youn Yuh-Jung, Aktris senior yang cukup terkenal sangat berkarakter. Saya cukup menyukai peran aktris senior ini ketika Ia berperan sebagai butler senior dalam “The Housemaid” ataupun Madame di “The Taste of Money.” Yun-Jung dihadirkan sebagai sosok paling senior, yang cukup menarik dalam cerita dari sisi ke-konservatif-annya. Yang kedua adalah Go Hyun-Jung, aktris yang juga runner-up Miss Korea yang sempat dikenal lewat peran antagonisnya dalam drama “Queen Seondeok” ataupun “Dae Mul.”
Ketiga, Choi Ji-Woo, Asian star dari Korea yang sempat nge-hits dengan drama fenomenal “Winter Sonata.” Keempat, Lee Mi-Suk, aktris senior 80-an yang terkenal dengan klasik erotik “Mulberry” ataupun “Untold Scandal.” Kelima, Kim Min-Hee, aktris yang dikenal lewat “Hellcats.” Terakhir, ada Kim Ok-Bin, yang paling junior yang sedang melejit kala itu dalam film “Thirst.”
It’s very interesting one. Menyaksikan “Actresses” selama 104 menit tidak membuat saya bosan dengan premisnya. Lee J Yong menggarap film ini dengan konsep mockumentary, dimana ceritanya yang fiksi dikemas ala-ala dokumenter. Penonton yang tidak mengetahui hal ini mungkin akan cukup tertipu, sebab para aktris yang memerankan sebagai diri mereka sendiri hadir sebagai sebuah fiksi belaka, walaupun dengan sentuhan historis yang memang terjadi dalam karir mereka. Sebut saja, seperti beberapa aktris yang sudah akrab karena sempat terlibat bersama di sebuah projek, kehidupan pernikahan mereka yang gagal, hingga memasukkan kesibukan terakhir mereka kala itu.
Bicara tentang alur ceritanya yang sepertinya mengemas titik klimaks di bagian pertengahan, ternyata memainkan tren mood meter saya yang cukup berbeda dengan terus meningkat hingga akhir. J Yong dan keenam aktris yang banyak berimprovisasi memang tidak memberikan sebuah kejutan-kejutan menarik yang benar-benar terkesan scripted, tetapi keenam karakter kuat masing-masing dari mereka yang menjadi unsur menarik dari ceritanya. Misalnya, Kim Ok-Bin dengan kejunioritasannya, Choi Ji-Woo dengan kepopulerannya, Go Hyun-Jung dengan ke-depresi-annya, Yuh-Jung dengan ke-konservatif-annya, Min-Hee dengan kelelahannya, dan Mi-Suk dengan kesendiriannya.
Perang ego kaum betina ini berhasil menjadi sebuah tontonan yang menyenangkan. Mulai dari masing-masing yang ingin diistimewakan, ekspresi poker face, konflik pribadi antara Choi Ji-Woo dan Go Hyun-Jung, hingga resolusi mereka berenam di malam natal. Menurut saya, film ini cukup jujur menggambarkan realita sebagaimana mestinya, terutama ketika mengartikan makna aktris melalui enam tokoh ini. Mengutip kata Mi-Suk, “Frankly said, actresses can’t stand the idea of sharing the limelight. They have to be at the center of attention, be the most beautiful and popular person on the scene at all times.”
