Awalnya, saya memberi ekspektasi yang terlalu besar dengan “The Ides of March.” Disutradarai George Clooney, juga diramaikan oleh Ryan Gosling yang sedang bersinar saat itu, ditambah Philip Seymour Hoffman, Marisa Tomei dan Evan Rachel Wood. Bagi saya, first impression tersebut meningkatkan curiosity Saya untuk menyaksikan film itu. Sebab, ini merupakan sebuah garansi nyata buat penonton.
Sayangnya, film ini masih dibawah ekspektasi saya. Pemain-pemain bagus ternyata belum menjadi sebuah jaminan mutlak. Film remake yang banyak menggunakan talent pemenang Academy Awards, seperti Clooney, Hoffmann, dan Tomei, sayangnya kurang terlalu memikat dengan film ini. Sepanjang 101 menit, penonton bukan dibawa untuk ke sebuah tontonan berbau politik yang mudah di cerna khalayak ramai, tetapi lebih ke sebuah tontonan politik yang dikemas begitu serius dan punya nilai intelejensi yang tinggi, sehingga akan sulit dimengerti oleh beberapa kalangan.
Film yang merupakan adaptasi dari sebuah drama teater ini, diproduseri juga oleh Clooney. Kesan George Clooney yang flamboyant dan serius, juga ikut tercermin lewat film ini. Film ini terkesan cukup ambisius, dan sangat bertitik pada sosok Stephen Meyers, yang diperankan oleh Gosling.
Berbicara tentang Gosling, yang mantan personil acara Disney, dan juga beberapa film remaja, kurang memberikan “sesuatu” dibanding film sebelumnya “Drive”. Pada film ini, Gosling berperan sebagai Meyers yang merupakan salah satu tim sukses seorang calon presiden Amerika yang terjebak ke dalam permainan politik. Ketika Ia terjebak, semua pihak berusaha untuk menjatuhkannya, dan Ia tampak sangat amat tidak berdaya. Film ini akan lebih terpusat kepada bagaimana Ia mampu untuk kembali dan bangkit dari keterpurukan itu.
Satu kata yang menyelematkannya, SKANDAL. Meyers yang sudah di depak oleh atasannya, juga sudah diancam oleh pihak media massa, merasa sudah tidak amat berdaya. Sebuah skandal antara Mike Morris, calon presiden yang juga calon gubernur, dengan salah satu anggota tim suksesnya, yang diperankan Evan Rachel Wood, menjadi sebuah titik klimaks didalam kisah.
Secara tontonan, film ini masih agak mirip dengan “Michael Clayton”, yang juga datar dalam penceritaan dan sangat tinggi akan perbendaharaan kata-katanya. Bahasa politik tentu sangat mendominasi film ini. Namun, yang sangat disayangkan, pembawaan film ini kurang menggigit. Sepertinya, itu adalah sebuah kesalahan dari teknik penceritaannya, yang membuat film ini sangat membosankan bagi Saya. Saya merasa film ini malah lebih mengunggulkan jajaran cast-nya dibandingkan kisahnya.
Yang menjadi perhatian khusus disini adalah alunan musik dari Alexandre Desplat. Desplat, yang hingga saat ini sudah mendapat beberapa nominasi Oscar dari score-score gubahannya. Desplat memberikan sebuah sentuhan yang membuat iringan tersebut lebih unggul dibanding adegannya dan seakan menahan para penonton untuk terus menyaksikan film ini hingga akhir.
Tetapi ada sebuah hal yang cukup akan meng-edukasi penonton, bagaimana tentang proses kampanye politik yang sering terjadi. Film ini cukup menggambarkan realita tersebut, dan perlu cukup mendapat pengakuan positif saat diputarkan, seiring dengan baru dimulainya kembali musim kampanye untuk pemilihan Presiden Amerika Serikat pada 2012 kala itu.