Walau hanya bersetting di sebuah bioskop tua bernama Family, “Service” menjadi tontonan film indie Filipina pertama saya yang mengangkat banyak isu: masalah keluarga, bisnis, hingga beragam perilaku seksual di dalamnya. Sebagai salah satu kompetitor dalam Cannes Film Festival 2008, film yang berjudul asli “Serbis” ini perlu dipandang sebagai sebuah tontonan seni dengan cara penyajiannya yang sok realistis, namun terkesan khas.
Bioskop tua ini tidak hanya menjadi tulang punggung keluarga Pineda, tetapi juga sebagai papan tempat mereka berpijak. Bioskop ini telah menjadi sarang bagi para dewasa, untuk sekedar menyaksikan tontonan dewasa, atau melakukan transaksi dari para penjaja seks. Keluarga Pineda dipimpin oleh seorang nenek yang dipanggil Nanay Flor, diperankan oleh Gina Pareño, yang sedang menghadapi perkara dengan mendiang suaminya di pengadilan.
Nanay dikisahkan punya tiga orang anak, Jeroma, Nayda dan Jewel. Nayda, yang diperankan oleh Jaclyn Jose, berperan untuk membantu Ibunya dalam mengelola usaha bioskopnya. Suami Nayda, Lando, yang diperankan oleh Julio Diaz, membuka warung makan di depan pintu masuk. Mereka berdua sudah memiliki anak laki-laki yang bernama Jonas, yang diperankan oleh Bobby Jerome Go.
Selain mereka, terdapat beberapa orang yang juga membantu operasional bioskop. Ada sosok Alan, yang diperankan Coco Martin, seorang pria berusia 17 tahun yang bertugas memperbaiki fasilitas. Juga ada sosok Roland, yang diperankan Kristoffer King, yang bertugas sebagai proyektor disana. Kehidupan dinasti Pineda ternyata dipenuhi dengan beragam masalah.
Sutradara film ini Brillante Mendoza, berusaha menghadirkan film ini serealistis mungkin. Mendoza mengkaitkan suasana kehidupan kelas bawah di Filipina dengan banyak hal: mulai dari pelacuran pria, kehidupan para transgender, aktivitas seksual yang melibatkan anak di bawah umur, kehamilan di luar nikah, praktek bigamy, hingga kegiatan selingkuh incest di dalam keluarga. Sepertinya, Mendoza mengangkat kesemuanya itu seakan sebuah nightmare, dengan beragam explicit sex yang diperlihatkan. Wow!
Melihat dari tema cerita yang diangkat, terkesan cukup menarik. Armando Lao dan Boots Agbayani Pastor, penulis naskah film ini, melakukan penggabungan kisah demi kisah lewat alur linier dengan banyak kisah tersirat dari dialog mereka. Film ini sebetulnya hanya menggambarkan kegiatan satu hari yang berlangsung dengan berbagai macam masalah.
Mendoza terlihat cukup jelas untuk menghadirkan kesan realistis, lewat menggunakan banyak tracking long shot pada penceritaannya. Saya agak sedikit teringat bagaimana Alejandro González Iñárritu mempratekkan model seperti ini dalam “Birdman” dengan cara yang lebih professional. Yang juga menarik, Mendoza seakan benar-benar mengandalkan sinar matahari yang menembus dinding ruang bioskop sebagai pencahayaan utama.
Juga, penonton akan mendengar suara lalu lalang kendaraan sebagai background audio setiap adegan yang dikemas begitu saja, tanpa ada proses filtering maupun mixing. Yang juga parah, Mendoza benar-benar menghadirkan sebuah tampilan set yang kotor, kumuh, jorok dan mungkin bau. Mendoza juga memasukkan unsur religius masyarakat Filipina yang mayoritas Katolik, lewat satu scene parade jalan salib di jalan raya, dan beberapa simbolisasi yang diperlihatkan.
Dari keseluruhan pemainnya, ada dua sosok yang mencuri perhatian saya. Pertama, sosok Nanay yang cukup banyak menghadapi drama keluarga. Kedua, adalah karakter Nayda yang cukup berperan banyak dalam ceritanya. Walaupun tidak tampil terlalu banyak adegan Pareño, akan tetapi penampilan yang diperlihatkan cukup memikat. Lain halnya dengan Jose yang hampir selalu tampil, namun cukup mendominasi cerita dan menjadi salah satu penghubung antar karakter.
Salah satu adegan menarik dalam film adalah ketika seekor kambing yang mengganggu penayangan film softp**n yang sedang diputar. Kambing tersebut mengacaukan segala aktivitas seksual para penonton, penyiaran film, sekaligus ditutup aksi kejar-kejaran. Sebuah peristiwa yang cukup antik.
“Serbis” dikemas dengan seadanya dan mencoba peruntungan dari berbagai macam topik yang disentuh film ini. Alhasil, tontonan khusus dewasa ini mungkin hanya akan cukup dimengerti sebagian orang saja, semenjak gaya ceritanya yang banyak tersirat dan terkesan rumit karena pengembangan karakter dalam kisahnya yang cukup dangkal.