Diangkat ke versi layar lebar, “The Last Five Years” mungkin tidak akan se-menarik yang dibayangkan. Film musikal yang disutradarai Richard LaGravanese, yang juga menyutradarai “P.S. I Love You”, seakan kurang berhasil untuk mengadaptasi teater off-broadway Jason Robert Brown ini.
Cerita film ini terpusat pada hubungan sepasang kekasih, Cathy dan Jamie. Cathy, yang diperankan oleh Anna Kendrick, merupakan seorang perempuan yang ingin memulai karier teaternya, dimulai dengan sebuah teater kecil di Ohio. Lain halnya dengan Jamie, yang diperankan oleh Jeremy Jordan. Jamie adalah seorang jewish guy yang mencintai Cathy dan merupakan seorang aspiring novelist.
Keberhasilan Jamie dengan publikasinya, membuat dirinya dan Cathy untuk pindah ke New York. Sepindahnya mereka disana, Jamie semakin menjadi sukses akan karyanya. Novel karangannya menjadi best-seller berminggu-minggu. Mereka pun kemudian menikah. Akan tetapi, kisah manis Jamie tidak semanis Cathy. Cathy tidak berhasil untuk melewati beragam audisi dan hanya merasa berada di belakang kesuksesan Jamie.
Awalnya, ketika menyaksikan trailer musikal ini, saya memberikan sebuah ekspektasi yang cukup besar. Setidaknya, Anne Kendrick bermain di level yang lebih serius setelah “Pitch Perfect.” Yah, this is musical. Akan tetapi, sesuai menyaksikan film ini, saya merasa LaGravanese cukup gagal untuk memanfaatkan kedua karakternya. Musikal ini terlalu terfokus dengan adegan musikal yang hampir 95% memenuhi film ini.
Walaupun hanya mengusung dua pemeran saja dalam musikal ini, Anne Kendrick dan Jeremy Jordan cukup berhasil memerankan karakter mereka, walau terasa masih kurang di kembangkan. Keduanya cukup memikat pada beberapa bagian, dan juga terkesan membosankan di bagian yang lain. Saya merasa tidak ada yang salah pada keduanya, sebab yang salah dalam film ini adalah pengemasannya.
Berbeda dengan film musikal yang lain, film ini punya nomor musikal yang benar-benar kuat. Misalnya, bila membandingkan dengan musikal pasca 2000-an, seperti “Chicago”, “Dreamgirls”, “Les Miserables” hingga “The Muppets”, kesemuanya masih memiliki nomor musikal yang memorable. Lagu-lagu dalam film ini dikemas cukup menarik, tetapi hanya pada beberapa saat. Mungkin karena lagunya yang cukup panjang, tidak repetitif dan pola lagunya yang sering berubah-ubah, sehingga tidak memberikan kesan yang berarti.
Eksekusi film ini kurang memuaskan. LaGravanese seakan membuat 10 music video dengan memakai dua model dan kemudian menghubungkannya menjadi sebuah cerita. Sayangnya, film ini sebetulnya masih dapat dikembangkan, seperti mengurangi bobot musikalnya ataupun memberikan kesan repetitif yang nantinya dijadikan sebagai trademark musikal ini. Saya cukup kecewa ketika sepanjang satu jam pertama hanya dihiasi dengan bagian manis yang dibiarkan mengambang, lalu dilanjutkan dengan pertengkaran yang hanya dikemas dalam sebuah babak kecil, lalu berakhir dengan sad ending tanpa resolusi yang jelas. Huft…