Empat orang tentara yang terjebak di sarang musuh menjadi tema utama “Fear and Desire.” Sebagai featured film pertama dari Stanley Kubrick, film ini tidak hanya menjadi yang pertama, tetapi yang terlupakan bila dibandingkan dengan judul-judul lain yang lebih fenomenal.
Film ini dimulai dengan sebuah narasi yang berusaha menjelaskan kisah mereka: “There is war in this forest. Not a war that has been fought, or one that will be, but any war. And the enemies who struggle here do not exist, unless we call them into being. This forest, then, and all that happens now is outside history. Only the unchanging shapes of fear – and doubt – and death – are from our world. These soldiers that you see keep our language and our time, but have no other country but the mind.”
Berdurasi 62 menit, film bertemakan perang ini cukup agak sedikit membosankan saya. Adegan pertama bersetting di sebuah hutan, dimana keempat tentara ini sedang menyusun strategi untuk keluar dan menuju batalion mereka. Perjalanan ini kemudian menjadi semakin ricuh ketika mereka sudah mendekati sebuah pangkalan musuh mereka dan bertemu dengan seorang gadis. Gadis tersebut kemudian di sandera, dan hanya dijaga oleh seseorang di antara mereka. Salah satu dari mereka kemudian mencoba untuk melanjutkan usaha penyerangan secara solo dengan menggunakan rakit, guna membunuh atasan musuh, dan dua sisanya bertugas untuk mengamankan pos terdepan musuh.
Sebagai sebuah film pertama Kubrick, tidak ada yang lebih dari rasa penasaran saya untuk menyaksikan film ini. Secara teknikal, film ini memainkan permainan ekspresi dan perpaduan pencahayaan dengan gambar film yang masih black-and-white. Kubrick memang terlihat sekali berusaha untuk menggambarkan ketakutan dan keinginan dari para tentara tersebut, seperti judul film ini. Kegelapan film ini juga ditambah dengan sentuhan musik penuh teror Gerald Fried.
Dagi segi cerita, dengan bersetting di hutan dan mengambil unsur perang negeri antah berantah, terkesan sebagai film yang dikemas dengan sederhana dan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Film ini lebih saya pandang sebagai sebuah eksperimen biasa yang tidak terlalu membanggakan, tetapi pada akhirnya memperlihatkan potensi dari seorang Stanley Kubrick yang melegenda.