Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Selalu mengurungkan niat untuk menyaksikan film animasi pertamanya, akhirnya saya menyaksikan versi live action-nya. Sebagai salah satu contender untuk award season tahun ini dari Universal Pictures, “How to Train Your Dragon” akhirnya saya pilih sebagai tontonan di akhir minggu.
Film dibuka dengan narasi karakter utama yang memperkenalkan setting utama film ini, yaitu desa Berk. Desa ini merupakan desa Viking, dan bukanlah sebuah desa biasa. Kerap diserang oleh naga-naga, membuat desa ini selalu membuat perlawanan, walaupun harus rela rumah mereka terbakar oleh semburan api panas. Dipimpin oleh Stoick the Vast, yang diperankan Gerard Butler, masyarakat pun tidak menyerah untuk menemukan sarang para naga.
Karakter utama bernama Hiccup, diperankan oleh Mason Thames, dan sebetulnya adalah putra sang kepala suku. Di saat orang muda lain berniat untuk menjadi dragon slayer, ia yang merasa memiliki fisik yang tak cukup memutuskan untuk hanya membuat alat mekanik untuk melawan naga. Sampai suatu ketika, semuanya berubah saat ia bertemu dengan naga hitam yang sedang lumpuh di sebuah air terjun.
Pertemuan Hiccup dengan naga ini terasa menarik. Ia melepas senjata, seakan ingin tulus untuk berinteraksi dengan naga hitam ini. Naga hitam ini, yang kemudian diberi nama Toothless, pun tidak dengan mudah bersikap baik. Namun dengan ketulusan Hiccup, ia pun malah jadi penasaran untuk membuat sayap ekor Toothless yang patah. Dari sinilah petualangan Hiccup dan Toothless dimulai.
Film ini disutradarai dan ditulis oleh Dean DeBlois, sosok yang juga menulis “Lilo & Stitch“ ataupun kedua versi animasi “How to Train Your Dragon.” Sebetulnya kisah ini diadaptasi dari buku berjudul sama karangan Cressida Cowell. Rasanya, setelah menyaksikan Disney yang kerap membuat live action dari koleksi animasinya itu, DreamWorks Animation seakan meniru hal yang sama. Berhubung disutradarai oleh DeBlois sendiri, yang juga mengemas ceritanya pada media film, rasanya visualisasi yang diharapkan bisa semirip sebelumnya.
Dari segi cerita, “How to Train Your Dragon” memiliki plot yang menarik buat saya dan terasa sebagai tontonan yang meaningful untuk target penontonnya. Film ini akan bercerita tentang seseorang yang merasa memiliki kekurangan, namun akhirnya dapat menemukan keahliannya yang tidak terduga. Ngomong-ngomong, ini mirip seperti animasi “Smurfs,” cuma yang ini tentu penyajiannya lebih proper.
Berbekal durasi 125 menit, “How to Train Your Dragon” hadir dengan pas, tidak kepanjangan atau kependekan, untuk menawarkan ceritanya yang penuh aksi. Sepanjang menyaksikannya, entah mengapa mood meter saya menjadi sangat bersemangat, apalagi ketika pertemuan pertama Hiccup dan Toothless. Sedari situ, cerita petualangan yang dihadirkan terus membuat saya terpaku sampai di ujung cerita.
Pengembangan karakter yang baik, berhasil diperankan dengan baik juga oleh aktor Mason Thames. Begitu juga ketika film memperkenalkan love interest karakter utama pada Astrid, yang diperankan Nico Parker. Film untuk semua usia ini tidak terlalu menempatkan diri pada settingan kisah cinta, yang jadi poin plus. Justru film ini semakin mendalami dinamika hubungan Hiccup dengan sang ayah, yang juga jadi poin utama cerita film ini.
Dari sisi teknis, saya amat menyukai sinematografi film ini. Sinematografer Bill Pope, yang sebelumnya dikenal dalam “The Boys in the Band“ ataupun “Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings,” amat memukau ketika masuk ke dalam scene terbang, yang rasanya akan amat worthed jika saya saksikan di layar IMAX. Begitu pula saat momen Stoick the Vast berlutut di hadapan Toothless, yang di satu sisi terasa perang yang megah, tetapi dibalut dengan penuh kekelaman.
Unsur lain yang juga membuat saya terhibur adalah musik yang lagi-lagi digubah John Powell, yang sebelumnya berhasil mendapatkan nominasi Best Original Score dari film animasi pendahulunya. Dengan setting Viking, Powell kembali menyajikan track-track yang udah menggugah sejak awal. Misalnya track ‘This Is Real Berk’ yang bertema cepat dengan nuansa lagu-lagu medieval yang kental, ataupun ‘Meeting the Queen’ yang amat menegangkan. Rasanya, album score “How to Train Your Dragon” kali ini masuk dengan mudah daftar shortlist untuk Best Original Score saya tahun ini.
Bila membandingkan adaptasi ke dalam live action seperti “Lilo & Stitch,” rasanya “How to Train Your Dragon” lebih terlihat sebagai suatu paket komplit. Jika film buatan Disney itu lebih membuat saya bernostalgia dan tersenyum-senyum melihat Stitch yang imut, justru yang ini lebih membuat saya melihat sebagai tontonan yang tidak saya duga akan semenghibur itu. A lively, meaningful adaptation that truly exceeded my expectations!
🇬🇧 English Version – Translated
After always postponing watching the first animated film, I finally watched the live action version. As one of the contenders for this year’s award season from Universal Pictures, “How to Train Your Dragon” finally became my choice for weekend viewing.
The film opens with the main character’s narration introducing the main setting of this film, namely the village of Berk. This village is a Viking village, and not just any ordinary village. Frequently attacked by dragons, this village always fights back, even though they must accept their homes being burned by hot fire blasts. Led by Stoick the Vast, played by Gerard Butler, the community doesn’t give up in finding the dragons’ lair.
The main character is named Hiccup, played by Mason Thames, and is actually the son of the tribal chief. While other young people intend to become dragon slayers, he, who feels he doesn’t have sufficient physique, decides to only make mechanical tools to fight dragons. Until one day, everything changes when he meets a black dragon that is paralyzed at a waterfall.
Hiccup’s meeting with this dragon feels interesting. He releases his weapon, as if wanting to sincerely interact with this black dragon. This black dragon, who is then named Toothless, doesn’t easily act friendly. But with Hiccup’s sincerity, he becomes curious to create a tail wing for Toothless’s broken one. From here, Hiccup and Toothless’s adventure begins.
This film is directed and written by Dean DeBlois, the figure who also wrote “Lilo & Stitch“ or both animated versions of “How to Train Your Dragon.” Actually this story is adapted from a book of the same title by Cressida Cowell. It feels like, after seeing Disney frequently making live action versions of their animation collection, DreamWorks Animation seems to be copying the same thing. Since it’s directed by DeBlois himself, who also packaged the story in film media, the expected visualization should be as similar as before.
Story-wise, “How to Train Your Dragon” has a plot that’s interesting to me and feels like meaningful viewing for its target audience. This film tells the story of someone who feels they have shortcomings, but eventually finds their unexpected skill. By the way, this is similar to the “Smurfs” animation, except this one’s presentation is more proper.
Armed with a 125-minute duration, “How to Train Your Dragon” comes at just the right length, not too long or too short, to offer its action-packed story. Throughout watching it, somehow my mood meter became very enthusiastic, especially during Hiccup and Toothless’s first meeting. From then on, the adventure story presented kept me glued until the end of the story.
The good character development is also well performed by actor Mason Thames. Likewise when the film introduces the main character’s love interest to Astrid, played by Nico Parker. This film for all ages doesn’t position itself too much in a love story setting, which is a plus point. Instead, this film delves deeper into the dynamic relationship between Hiccup and his father, which is also the main point of this film’s story.
From a technical side, I really liked this film’s cinematography. Cinematographer Bill Pope, who was previously known in “The Boys in the Band“ or “Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings,“ is stunning when entering the flying scenes, which I feel would be very worthed if I watched it on an IMAX screen. Likewise during the moment when Stoick the Vast kneels before Toothless, which on one side feels like a magnificent war, but wrapped in complete darkness.
Another element that also entertained me is the music which is again composed by John Powell, who previously received a Best Original Score nomination from its animated predecessor. With the Viking setting, Powell again presents tracks that are stirring from the start. For example the track ‘This Is Real Berk’ which has a fast theme with thick medieval song nuances, or ‘Meeting the Queen’ which is very tense. I feel the “How to Train Your Dragon” score album this time easily enters my shortlist for Best Original Score this year.
When comparing adaptations into live action like “Lilo & Stitch,” “How to Train Your Dragon” looks more like a complete package. If that Disney-made film made me more nostalgic and smile seeing the cute Stitch, this one made me see it as viewing that I didn’t expect would be that entertaining. A lively, meaningful adaptation that truly exceeded my expectations!
