Di tahun 2013, Alejandro Jodorowsky kembali meneruskan karir directorial-nya yang sudah terhenti selama 23 tahun lewat film “The Rainbow Thief”. Kali ini, lewat film “The Dance of Reality” yang berjudul asli “La danza de la realidad”, Jodorowsky menghadirkan sebuah kisah autobiografi yang dikemas dengan sentuhan fantasi yang cukup mind blowing.
Menyaksikan film ini cukup mengingatkan saya dengan “Big Fish” yang bercerita tentang masa muda dengan penggunaan fantasi dan deretan tokoh-tokoh unik. Film ini juga mengingatkan saya dengan film “Amarcord”-nya Federico Fellini, yang merupakan autobiografi sang sutradara dalam menampilkan cuplikan kisah penuh karakter. Bila dibandingkan secara keseluruhan, “The Dance of Reality” merupakan yang paling fantastis, dengan gaya penceritaan yang paling sulit dipahami karena banyaknya perumpamaan-perumpamaan Jodorowky.
Film ini bersetting di tahun 1929, di Tocopilla, sebuah kota kecil di Chile. Alejandro, yang diperankan oleh Jeremias Herskovits, adalah seorang anak tunggal dari seorang ayah komunis yang cukup brutal dan seorang ibu yang berbicara layaknya penyanyi opera. Walaupun karakter utamanya diperankan, Jodorowsky ikut serta sebagai dirinya sendiri versi tua, yang kadang hadir dan bercerita mengenai masa lalunya.
Penceritaan Jodorowsky sangat mengalir, dari karakter satu ke yang lain. Sayangnya, ada beberapa bagian yang cukup terlihat dengan jelas merupakan bagian dari visual efek. Walaupun demikian, bagian ini tidak menyudutkan saya untuk terus menyaksikan kisah Jodorowsky.
Film ini dirilis pada 18 Mei 2013 lalu sebagai salah satu featured films pada bagian The Director’s Fortnight dalam ajang Cannes Film Festival 2013. Film ini merupakan film pertama Jodorowsky yang pernah tonton. Jodorowsky sebelumnya cukup terkenal dengan cult classic-nya, “The Holy Mountain”, yang sempat dilarang untuk diputar karena cukup menuai kontroversi.
Yang menarik, pemeran ayah Jodorowsky dalam film ini, Jaime, ternyata diperankan oleh anaknya sendiri Brontis Jodorowsky. Brontis memerankan sosok kakeknya lewat penggambaran ayahnya dengan cukup meyakinkan. Juga karakter ibu Jodorowsky, Sara, yang diperankan oleh penyanyi sopran Pamela Flores yang punya kesan tersendiri. Flores menghadirkan sebuah keunikan tersendiri dari sosok karakter yang selalu berbicara seperti bernyanyi, dan bagaimana banyak hal-hal ganjil yang terdapat di dalamnya.
Film yang dikemas dengan menggunakan bahasa Spanyol ini berdurasi selama 130 menit. Sebuah durasi yang terbilang cukup pendek untuk sebuah autobiografi padat cerita. Musik di dalam film ini juga menjadi salah satu bagian penting dari film ini. Dikemas oleh anak Jodorowsky yang lain, Adan Jodorowsky, menghadirkan sebuah sentuhan musik bertema musik klasik dengan alunan orkestra.
Secara umum, film ini bukanlah sebuah tontonan yang menarik bagi penonton awam. Filmnya yang mudah dinikmati namun tidak mudah dipahami dan dicerna dengan akal sehat. Akan terdapat banyak adegan yang cukup membuat anda terhenyak, seperti adegan urinasi pada sebuah radio, urinasi pada wajah, adegan telanjang ibu-anak yang dilanjutkan kejar-kejaran, hingga teriakan seriosa pada sebuah adegan seks.
Walaupun hal tersebut bukanlah sebuah hal yang terkesan baru dalam layar lebar, akan tetapi ini menjadi sebuah ciri khas tersendiri Fedorowsky. Fedorowsky cukup berhasil dalam merangkai kisah masa lalunya yang dikemas bagai sebuah puisi dan lukisan lewat caranya yang cukup visioner hingga membuat penonton merasa “tidak nyaman” dengan pengertian film dibuat tidak hanya untuk menghibur tetapi mampu hadir sebagai sebuah seni yang sarat makna, tidak mudah dipahami, tetapi indah.