Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Ketika sosial media ataupun podcast mulai menjajah generasi sekarang, banyak realita yang semakin diungkap. Bila dulu saya merasa koran harian “Poskota” atau “Lampu Merah” terbilang berani dengan konten eksplisit mereka, kini cerita-cerita tersebut menjadi semakin mudah dijumpai. Yang menarik adalah hal-hal sensitif dan tabu ini diangkat ke layar lebar. Salah satunya adalah “Wahyu,” sebuah film pendek yang mengangkat isu serius dan tabu dari balik pesantren.
Disclaimer dulu, rasanya tak ada tulisan jika “Wahyu” diangkat dari sebuah kisah nyata. Tapi, realita selalu bisa lebih jahat kan? Balik ke topik utama, film ini berlatar sebuah pesantren khusus laki-laki. Suatu hari, seorang ustaz membawa seorang anak baru ke sana. Ia mengantar ke kamar anak tersebut dan memperkenalkannya dengan calon teman-teman kamarnya. Ia bernama Wahyu, diperankan oleh Dafa Wahyu Lutfi Faqih.

Kehadiran Wahyu terasa memberikan dampak yang beragam. Di satu sisi, ia terlihat ramah dan menawan, sekaligus mau membantu mengerok teman yang sedang masuk angin. Rasanya juga cukup pandai, ketika ia memperbaiki hafalan rekannya yang tidak tepat. Namun, lain hal dengan Cholis, yang diperankan oleh Randa Achmad Surbakti. Wahyu seakan jadi tokoh sentral yang rasanya pantas disematkan dalam judul ceritanya.
Film ini disutradarai oleh Nada Leo Prakasa, dan merupakan salah satu hasil produksi Program Studi Televisi dan Film, dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember. Film yang berdurasi selama 18 menit ini terasa hadir sebagai garapan film pendek yang baik. Sepanjang menyaksikannya, ceritanya terus membangun rasa penasaran saya, sekaligus membangun asumsi yang kemudian menipu saya.

Secara penyajian, “Wahyu” terasa hadir sebagaimana mestinya. Ia menyajikan kehidupan pesantren yang agamis, mulai dari lensa makro yang menampilkan keseharian para santri, lensa mikro yang menampilkan dinamisme santri-santri di kamar Wahyu dan Cholis, sampai lensa individual yang membuat penonton akhirnya mengerti dengan apa yang terjadi. Pergolakan karakter utama mulai semakin terasa untuk mengaburkan sosok Wahyu yang awalnya saya kira adalah sang tokoh utama. Saya pun masih penasaran dengan motif Wahyu yang sempat menanyakan what if, termasuk dengan adegan subuh yang mungkin saja sebuah halusinasi.
Ukuran film yang pendek ternyata tidak mematahkan saya untuk mengingat beberapa adegan yang berkesan. Misalnya seperti saat Cholis yang tiba-tiba panik mencuci muka, ataupun saat ada anak yang sedang mendapatkan hukuman dibotaki. Film ini juga memberikan informasi baru buat saya yang ex anak asrama, tentang aktivitas mandi para santri yang dilakukan beramai-ramai di area tanpa bilik.

Walaupun terasa singkat, “Wahyu” terbilang dieksekusi dengan baik. Tidak hanya dari segi cerita dan pengembangan karakter yang dikemas matang, tetapi juga keberanian dengan mengawinkan tema tabu dengan setting yang terbilang religius. Untung saja, film ini tidak membahas tema seperti “Spotlight“ ataupun pelecehan seksual yang saya tonton di salah satu podcast terbesar. Film ini cenderung lebih aman karena menyasar konflik coming-of-age individu. Menutup ulasan ini, it’s a must watch!
🇬🇧 English Version – Translated
When social media and podcasts began to colonize the current generation, many realities are increasingly revealed. If in the past I felt daily newspapers “Poskota” or “Lampu Merah” were quite bold with their explicit content, now these stories are becoming easier to encounter. What’s interesting is these sensitive and taboo matters are brought to the big screen. One of them is “Wahyu,” a short film that raises serious and taboo issues from behind Islamic boarding schools.
Disclaimer first, it seems there’s no writing if “Wahyu” is lifted from a true story. But reality can always be more cruel, right? Back to the main topic, this film is set in an all-boys Islamic boarding school. One day, an ustaz brings a new boy there. He escorts him to the boy’s room and introduces him to his future roommates. His name is Wahyu, played by Dafa Wahyu Lutfi Faqih.

Wahyu’s presence feels like it has diverse impacts. On one hand, he looks friendly and charming, while willing to help scrape a friend who has a cold. He also seems quite smart when he corrects his colleague’s incorrect memorization. However, it’s different with Cholis, played by Randa Achmad Surbakti. Wahyu seems to be the central figure who deserves to be embedded in the story’s title.
This film is directed by Nada Leo Prakasa, and is one of the production results of the Television and Film Study Program, from the Faculty of Cultural Sciences, Jember University. This 18-minute film feels present as a good short film work. Throughout watching it, the story continues to build my curiosity, while building assumptions that then deceive me.

In terms of presentation, “Wahyu” feels present as it should be. It presents the religious life of the boarding school, from macro lenses showing the daily lives of students, micro lenses showing the dynamism of students in Wahyu and Cholis’s room, to individual lenses that finally make the audience understand what happened. The main character’s turmoil is increasingly felt to obscure Wahyu’s figure, who I initially thought was the main character. I’m still curious about Wahyu’s motive who asked what if, including the dawn scene which might be a hallucination.
The short film size turns out not to break me from remembering several memorable scenes. For example, when Cholis suddenly panics washing his face, or when there’s a boy being punished by having his head shaved. This film also provides new information for me who is an ex-boarding school kid, about the bathing activities of students done together in areas without stalls.

Although it feels brief, “Wahyu” is quite well executed. Not only in terms of story and character development that is packaged maturely, but also the courage to marry taboo themes with a religious setting. Fortunately, this film doesn’t discuss themes like “Spotlight“ or sexual harassment that I watched on one of the biggest podcasts. This film tends to be safer because it targets individual coming-of-age conflicts. Closing this review, it’s a must watch!








![#337 – Tom at The Farm [Tom à la ferme] (2013) 337-Picture6](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/08/337-Picture6-218x150.webp)

![#335 – Heartbeats [Les amours imaginaires] (2010) 335-Picture3](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/335-Picture3-218x150.webp)
![#333 – I Killed My Mother [J’ai tué ma mère] (2009) 333-Picture2](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/333-Picture2-218x150.webp)











