Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Layaknya “KKN di Desa Penari,” film ini diangkat dari sebuah thread populer. Berjudul “Pembantaian Dukun Santet,” film ini akan menawarkan cerita dengan setting tragedi berdarah di Banyuwangi akhir 90-an silam.
Awalnya, mendengar judulnya, saya mengira ini mungkin akan bercerita tentang pembantaian, atau mungkin sedikit cerita tentang politik kriminal menjelang akhir Orde Baru. Ternyata tidak sama sekali. Film ini malah menawarkan horor dari sebuah pesantren dengan setting tragedi tersebut.

Cerita terpusat pada sebuah pesantren campur bernama Boyogiri, yang terletak di sebuah bukit di daerah Banyuwangi. Suatu ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan ninja, sebutan bagi mereka pelaku pembantaian, yang menewaskan dua orang ustaz. Masalahnya, jenazah kedua ustaz tersebut sengaja dibiarkan oleh Ustaz Rizwan, diperankan oleh Teuku Rifnu Wikana, dengan dalih untuk menunggu kedatangan Pak Kiai Ahmad, yang diperankan oleh Pritt Timothy.
Alhasil, berbagai teror mulai menghantui pesantren. Salah seorang santriwati bernama Annisa, diperankan oleh Aurora Ribero, mulai didatangi sosok hantu perempuan. Begitu pula dengan sosok Kiai yang kemudian hilang saat salat berjamaah, sampai penemuan sesajen untuk menyantet. Santri yang lain bernama Satrio, diperankan oleh Kevin Ardilova, juga tengah bingung akan keselamatan sang ayah di luar, yang merupakan seorang dukun suwuk (dukun penyembuh).
Film “Pembantaian Dukun Santet” disutradarai oleh Azhar Kinoi Lubis, sutradara Indonesia yang sudah banyak menyutradarai horor seperti “Mangkujiwo” dan “Spirit Doll.” Secara penyajian, film garapan Pichouse Films dan MD Pictures terbilang dikemas dengan cukup apik. Terutama pada setting, yang membawa penonton pada suasana pesantren yang berada terasing dari keramaian, sekaligus pondok-pondok yang terpisah-pisah, yang sekali lagi menghidupkan tema suasana mistis yang begitu kental dari Banyuwangi.

Secara penggarapan cerita, alur maju dengan konflik antara Ustaz Rizwan dan Ustaz Bagas terasa memancing ketertarikan saya untuk mengikuti ceritanya. Begitu pula dengan penambahan kisah Satrio ataupun Annisa. Cuma saja, saya merasa judul film ini terasa terlalu clickbait. Andai judul film ini bisa diubah, penonton pun mungkin tidak akan terlalu dikecewakan, kecuali mereka yang sudah lebih dulu menyaksikan trailer-nya. Menurut saya, film ini cenderung mengeksploitasi mistis ketimbang peristiwa aslinya yang kerap dianggap seperti mau dilupakan.
Konteks tentang santet menjadi materi utama film ini. Penonton akan dihiburkan dengan serangkaian adegan mistis, mulai dari paku yang keluar dari mata, kawat besi yang keluar dari mulut, manusia yang kena muntahan pocong, sampai ritual santet yang dilakukan. Masalahnya, film ini kurang menceritakan hal-hal tersebut sebelumnya, yang tentunya akan membangun kebingungan buat penonton seperti saya, yang kurang paham dengan santet.

Masalah lain yang cukup mengganggu dari “Pembantaian Dukun Santet” adalah penggunaan efek visual yang begitu terlihat. Seperti adegan paku yang keluar dari mata, tidak sama sekali membangun rasa takut. Sebetulnya tidak jelek, cuma yang disayangkan terlalu kelihatan dibuat-buat. Ini termasuk juga dengan adegan api.
Walaupun terasa begitu clickbait, film ini terasa cukup kembali mengingatkan tragedi berdarah yang dipaksa dilupakan itu. Mengutip wawancara Gus Muwafiq dalam NU Online, ia menyebutkan jika kasus “Operasi Naga Merah” masih terlalu sensitif karena pelakunya masih hidup. Ia merasa lebih asyik untuk menceritakan kebaikan yang muncul karena tragedi ini sebab “memang hutan itu dibakar, tapi tumbuhan yang tumbuh berikutnya lebih hijau dan buahnya lebih banyak.”
Sekali lagi, film “Pembantaian Dukun Santet” tidak boleh disamakan dengan tragedi berdarah Banyuwangi. Namun, ada hal yang menarik yang saya tangkap di sini. Jikalau karakter-karakter seperti Kiai Ahmad, ataupun ustaz-ustazah dalam ceritanya, yang seharusnya ilmu agamanya lebih banyak dan mempraktikkan hidup dengan baik, tetapi bisa diserang dengan santet, maka apa kabar dengan orang-orang yang hidupnya lebih duniawi. Saya masih berada di posisi yang menolak opini ini. Namun balik lagi, ini memang hanya cerita buatan. Okay lah dari saya.
🇬🇧 English Version – Translated
Like “KKN di Desa Penari,” this film is adapted from a popular thread. Titled “Pembantaian Dukun Santet,” this film will offer a story set against the bloody tragedy in Banyuwangi in the late 90s.
Initially, hearing the title, I thought this might tell a story about a massacre, or perhaps a bit about criminal politics near the end of the New Order era. Turns out not at all. This film instead offers horror from an Islamic boarding school with the tragedy as its setting.

The story centers on a co-ed Islamic boarding school called Boyogiri, located on a hill in the Banyuwangi area. One time a murder occurred committed by ninjas, the term for massacre perpetrators, killing two ustaz (Islamic teachers). The problem is, the corpses of both ustaz were deliberately left by Ustaz Rizwan, played by Teuku Rifnu Wikana, under the pretext of waiting for the arrival of Pak Kiai Ahmad, played by Pritt Timothy.
As a result, various terrors began to haunt the boarding school. A female student named Annisa, played by Aurora Ribero, began to be visited by a female ghost figure. Likewise with the Kiai figure who then disappeared during congregational prayer, to the discovery of offerings for witchcraft. Another student named Satrio, played by Kevin Ardilova, is also confused about the safety of his father outside, who is a suwuk shaman (healing shaman).
The film “Pembantaian Dukun Santet” is directed by Azhar Kinoi Lubis, an Indonesian director who has directed many horror films such as “Mangkujiwo” and “Spirit Doll.” In terms of presentation, the film produced by Pichouse Films and MD Pictures is quite neatly packaged. Especially in the setting, which brings the audience to the atmosphere of a boarding school isolated from the crowds, as well as separate dormitories, which once again bring to life the theme of a very strong mystical atmosphere from Banyuwangi.

In terms of story development, the forward plot with conflict between Ustaz Rizwan and Ustaz Bagas sparked my interest in following the story. Likewise with the addition of Satrio or Annisa’s story. However, I feel this film’s title feels too clickbait. If this film’s title could be changed, the audience might not be too disappointed, except those who had watched the trailer first. In my opinion, this film tends to exploit the mystical rather than the actual event that is often considered as wanting to be forgotten.
The context of witchcraft becomes the main material of this film. The audience will be entertained with a series of mystical scenes, from nails coming out of eyes, iron wire coming out of mouths, humans hit by ghost vomit, to witchcraft rituals performed. The problem is, this film lacks telling about these things beforehand, which of course will build confusion for viewers like me, who don’t understand witchcraft well.

Another problem that’s quite disturbing from “Pembantaian Dukun Santet” is the use of visual effects that are so visible. Like the scene of nails coming out of eyes, it doesn’t build fear at all. Actually not bad, but what’s unfortunate is it looks too artificial. This includes fire scenes as well.
Although it feels so clickbait, this film feels like it reminds us enough of that bloody tragedy that was forced to be forgotten. Quoting an interview with Gus Muwafiq in NU Online, he mentioned that the case of “Red Dragon Operation” is still too sensitive because the perpetrators are still alive. He feels it’s better to tell the good that emerged because of this tragedy because “indeed the forest was burned, but the plants that grow next are greener and bear more fruit.”
Once again, the film “Pembantaian Dukun Santet” should not be equated with the Banyuwangi bloody tragedy. However, there’s something interesting I caught here. If characters like Kiai Ahmad, or the ustaz in the story, who should have more religious knowledge and practice living well, but can be attacked by witchcraft, then what about people whose lives are more worldly. I’m still in a position to reject this opinion. But again, this is indeed just a fictional story. Okay from me.








![#337 – Tom at The Farm [Tom à la ferme] (2013) 337-Picture6](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/08/337-Picture6-218x150.webp)

![#335 – Heartbeats [Les amours imaginaires] (2010) 335-Picture3](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/335-Picture3-218x150.webp)
![#333 – I Killed My Mother [J’ai tué ma mère] (2009) 333-Picture2](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/333-Picture2-218x150.webp)









