Table of Contents
🇮🇩 Bahasa Indonesia – Original
Untuk anak 90-an seperti saya, apakah masih teringat dengan kisah di sebuah majalah yang mengangkat tentang orang muda asal Bandung yang keluar dari Gereja Setan? Berita yang sempat menjadi buah bibir menjelang tahun 2000, kini dengan lantang difilmkan dengan judul “Gereja Setan.” Semua berkat keberanian Mongol Stres, stand up comedian termahal di Indonesia, yang sebelumnya merupakan jenderal aliran tersebut.
Cerita ini memperkenalkan penonton dengan Ribka, diperankan oleh Kathleen Carolyne, yang merupakan putri tunggal dari seorang penatua gereja bernama Adam, yang diperankan oleh Irwan Chandra. Suatu hari, Ribka menerima telepon dari Matthew, kekasihnya yang diperankan oleh Roy Romagny, yang saat itu sedang menyetir. Kelalaiannya berakhir naas. Matthew meninggal akibat kecelakaan, dan Ribka ditinggali masalah baru lainnya: ia hamil.

Dengan berat hati ia ungkapkan pada kedua orangtuanya, yang berujung dengan penolakan dari orangtua mendiang Matthew. Tak mendapat dukungan, Adam pun menyusul. Ia meminta sang putri untuk keluar kota, semua dilakukan demi menjaga nama baik di gereja. Ribka yang kini tanpa pegangan lalu pergi keluar kota, tanpa arah dan tujuan.
Di tengah perjalanan, ia kemudian mulas, dan dibantu oleh seorang perempuan bernama Gladys, diperankan oleh Maddy Slinger. Perempuan ini juga menawarkan tempat tinggal untuk Ribka. Mengingat Ribka tak punya arah, ia menyetujuinya. Gladys pun memberinya pekerjaan sebagai karyawan di layanan binatu miliknya. Di antara percakapan keduanya, Gladys selalu memberi penekanan bagaimana ia tergabung di sebuah komunitas yang selalu membantunya. Sampai suatu ketika, ia membawa Ribka ke komunitas yang selalu ia banggakan.
Awalnya, saya merasa tak punya ekspektasi apa pun dengan film ini. Saya yang termasuk cukup banyak menyaksikan siaran podcast dengan bintang tamu Mongol, rasanya sudah cukup familiar dengan penceritaan Mongol tentang pengalaman rohaninya. Sehingga saat menyaksikan film ini, rasanya tidak ada kejutan tersendiri selain kehadiran jumpscare yang menurut saya sangat baik dieksekusi. Menurut saya, sutradara Daniel Tito Pakpahan menghadirkan kengerian yang sangat mengejutkan, berkat aksi kejut sekaligus musik yang penuh teror.

Secara penyajian, “Gereja Setan” memang terasa berbeda. Ketika film horor Indonesia yang sedang tayang sering mengangkat horror urban legend, mitos, serta kadang dengan selipan religius mayoritas, film ini menjadi film horor berikutnya setelah “Kuasa Gelap,” walaupun cenderung lebih ke arah Kristiani. Akan tetapi, dari segi teknis, saya merasa penyajian yang dihadirkan terbilang standar, tak ada yang istimewa. Entah mengapa saya selalu teringat dengan sinema spesial atau FTV bertema Kristen, hanya saja yang membuatnya spesial karena unsur Gereja Setan yang mungkin bisa saja kena sensor LSF kalau di layar lebar. Saya sempat terpikir, andai saja film ini dibuat dalam versi Amerika ataupun Eropa, mungkin cenderung akan lebih gelap dan mungkin saja sexploitation yang lebih ditawarkan. Namun saya paham, ini Indonesia.
Akan tetapi, saya tidak menyesali film ini ketika menyaksikannya di bioskop. Walaupun terasa seadanya, saya menyukai penggambaran Iblis yang dihadirkan film ini. Mulai dari pertarungan dengan anggota komunitas sampai Lucifer yang rasanya hanya dengan tangan kosong, yang rasanya jauh berbeda jika Anda menyaksikan “The Exorcist.” Terlepas dari itu semua, film ini tahu bagaimana memaksimalkan keterbatasannya, dan masih terbilang menjadi tontonan horor yang lumayan menghibur. Jika mengutip kata Mongol, horor yang ditawarkan film ini memang di atas kelas, tidak melawan setan-setan difabel, melainkan Iblis.
🇬🇧 English Version – Translated
For 90s kids like me, do you still remember the story in a magazine about a young man from Bandung who left the Satan Church? The news that became the talk of the town leading up to the year 2000 is now boldly made into a film titled “Gereja Setan.” All thanks to the courage of Mongol Stres, Indonesia’s most expensive stand-up comedian, who was previously a general of that sect.
This story introduces audiences to Ribka, played by Kathleen Carolyne, who is the only daughter of a church elder named Adam, played by Irwan Chandra. One day, Ribka receives a phone call from Matthew, her boyfriend played by Roy Romagny, who was driving at the time. His negligence ended tragically. Matthew died in an accident, and Ribka was left with another new problem: she was pregnant.

With a heavy heart, she revealed this to both her parents, which resulted in rejection from Matthew’s deceased parents. Without support, Adam followed suit. He asked his daughter to leave town, all done to protect the family’s good name in the church. Ribka, now without support, then left town, without direction or purpose.
During the journey, she then experienced labor pains and was helped by a woman named Gladys, played by Maddy Slinger. This woman also offered accommodation for Ribka. Considering Ribka had no direction, she agreed. Gladys gave her a job as an employee at her laundry service. Among their conversations, Gladys always emphasized how she was part of a community that always helped her. Until one day, she brought Ribka to the community she always praised.
Initially, I felt I had no expectations whatsoever for this film. Having watched quite a lot of podcast broadcasts with Mongol as a guest, I felt quite familiar with Mongol’s storytelling about his spiritual experiences. So when watching this film, there were no particular surprises except for the presence of jumpscares that I thought were very well executed. In my opinion, director Daniel Tito Pakpahan presented very surprising horror, thanks to the shock actions combined with terror-filled music.

In terms of presentation, “Gereja Setan” indeed feels different. When Indonesian horror films currently showing often feature horror urban legends, myths, and sometimes with majority religious undertones, this film becomes the next horror film after “Kuasa Gelap,” although it tends more toward Christianity. However, technically speaking, I feel the presentation offered is fairly standard, nothing special. Somehow I always remember Christian-themed special cinema or TV movies, except what makes it special is the Satan Church element that might have been censored by the Film Censorship Board if on the big screen. I briefly thought, if only this film were made in American or European versions, it might tend to be darker and perhaps offer more sexploitation. But I understand, this is Indonesia.
However, I don’t regret watching this film in the cinema. Although it feels modest, I like the depiction of the Devil presented in this film. From fighting with community members to Lucifer who seems to use only bare hands, which feels very different if you watch “The Exorcist.” Apart from all that, this film knows how to maximize its limitations and is still considered a fairly entertaining horror watch. To quote Mongol’s words, the horror offered by this film is indeed above class, not fighting disabled demons, but the Devil.








![#337 – Tom at The Farm [Tom à la ferme] (2013) 337-Picture6](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/08/337-Picture6-218x150.webp)

![#335 – Heartbeats [Les amours imaginaires] (2010) 335-Picture3](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/335-Picture3-218x150.webp)
![#333 – I Killed My Mother [J’ai tué ma mère] (2009) 333-Picture2](https://cinejour.b-cdn.net/wp-content/uploads/2017/07/333-Picture2-218x150.webp)









