Pada musim penghargaan tahun ini, film drama yang satu ini masuk ke dalam deretan film unggulan Amazon MGM Studios. Apalagi ketika originalitas cerita film ini yang diunggulkan dalam kategori best original screenplay, yang semakin memicu rasa penasaran dengan ceritanya. “My Old Ass” hadir sebagai tontonan coming-of-age akan seksualitas dan masa depan, yang dibalut kisah kehangatan akan keluarga dan cinta.
Sosok sentral “My Old Ass” adalah Elliott, diperankan oleh Maisy Stella. Baru saja menapaki usia 18 tahun, di hari ulang tahunnya, Ia malah mengabaikan keluarganya yang tengah menunggu untuk memberikannya kejutan. Ia malah pergi dengan dua orang sahabatnya, Ruthie dan Ro, yang diperankan oleh Maddie Ziegler dan Kerrice Brooks. Seperti baru lepas dari kandang, begitu umpamaan saya pada Elliott, Ia seakan penuh semangat untuk mengeksplorasi dunia dewasa yang begitu runyam.
Tiga gadis yang bermalam di hutan ini kemudian mencoba sesuatu. Ro membawa mushrooms, dan benar saja, ketiganya mencoba tanaman terlarang ini. Saat melihat kedua sahabatnya mulai berhalusinasi, Elliott malah terbingung, mengapa Ia tidak merasakan efeknya. Dalam sekejap, tiba-tiba seseorang perempuan muncul. Ia mengaku sebagai Elliott, diperankan oleh Aubrey Plaza, yang berasal dari masa depannya. Sebuah kejutan!
Saya tidak mau melanjutkan ceritanya. Premis-nya cukup sampai disini. Sampai di titik saya semakin terfokus dengan serangkaian tanda tanya penasaran akan kisahnya. Kisahnya sendiri ditulis dan disutradarai oleh Megan Park. “My Old Ass” dirilis pada Sundance Film Festival 2024, dan hadir dalam kemasan kisah coming-of-age yang diselimuti nuansa komedi. Hal inilah yang membuat ceritanya tidak terasa serius-serius amat, namun mungkin akan menyentil dari pesan yang disampaikan.
Film yang berdurasi 89 menit ini terbilang cukup menipu saya. Semua berkat upaya penceritaan yang seakan-akan membangun kesan antagonis pada karakter love interest bernama Chad, diperankan oleh Percy Hynes White, berkat peringatan yang diberikan Elliott senior di film ini. Alhasil, ini malah membuktikan bagi yang tertipu jikalau kita terlalu banyak overthinking dan memakan begitu banyak asumsi.
Salah satu ekplorasi menarik dalam “My Old Ass” adalah kisah coming-of-age Elliott yang sebetulnya sudah cukup bangga dengan status orientasi seksualnya sebagai lesbian. Ia seakan melabeli dirinya untuk menyukai perempuan, sekaligus mengarungi petualangan bercinta, selayaknya kehidupan bebas para remaja disana. Hal menarik muncul saat Elliott tiba-tiba menyukai Chad, berkat serangkaian pertemuan mereka, dan menguji kembali label yang sudah dipakainya.
Selain itu, topik keluarga juga jadi bagian mengena. Ketika seseorang lepas dari kandang, Ia mungkin akan bebas untuk mencari situasi yang baru dan cocok baginya, dan kadang melupakan yang bersama-sama dengannya. “My Old Ass” seperti memberi peringatan bagi target penontonnya untuk bisa memaknai waktu dan situasi yang mereka miliki selama orang-orang yang mereka sayangi masih ada. So sweet!
Membahas penampilannya, terbilang sebagai debut memerakan karakter utama, aktris Maisy Stella, menunjukkan potensinya sebagai the next big thing. Saya menyukai bagaimana karakter Elliott dihadirkan, termasuk proses refleksi yang Ia jalani di sepanjang cerita. Kehadiran Aubrey Plaza, aktris yang juga tampil dalam “Ingrid Goes West” ini, juga perlu di highlight sebagai pendukung dalam ceritanya. Plaza hanya tampil sebentar, namun Ia berhasil menguasai cerita di setiap adegannya muncul.
Ada salah satu bagian yang cukup tak terduga di film ini, yaitu ketika adegan Elliott masuk ke dalam dunia halusinasinya. Ia menjelma layaknya Justin Bieber dan kemudian menyanyikan “One Less Lonely Girl” sambil membayangkan Chad sebagai the lonely girl. Ditambah, Chad yang punya perawakan berambut sebahu dikemas layaknya perempuan, namun tetap hadir dengan maskulin.
“My Old Ass” menutup ceritanya dengan hal yang tak terduga dan cukup hangat. Film ini patut jadi another feel good movie recommendation. Ceritanya ringan dan seperti diselimuti ambisi karakter-karakter muda yang seakan siap menatap kehidupan nyata, sekaligus konflik personal yang mungkin akan relatable buat mereka yang akan semakin dewasa. Walaupun tak bisa lepas dari nuansa teen comedy, selipan time travel yang hadir justru malah membangun ketertarikan yang membuatnya terasa begitu seru. Love it!