Tontonan ini terbilang sebagai salah satu yang saya nantikan di penghujung tahun. A24 yang beberapa tahun terakhir cukup mendapat spotlight akan film-filmnya, ditambah Luca Guadagnino yang sebelumnya lumayan berhasil dengan “Call Me By Your Name,” menjadi beberapa faktor pendorong saya untuk menyaksikan film ini. Berjudul “Queer,” penonton akan diajak ke dalam adaptasi novella seorang penulis beat generation kenamaan asal Amerika Serikat, William S. Burroughs.
Cerita film ini diangkat dengan setting di kota Mexico City pada era 50-an. Tokoh utama karakter ini adalah William Lee, diperankan oleh Daniel Craig. Pada pembukaannya, Lee seakan ingin mengeksplorasi status queer, yang menargetkan Ia untuk mencari pria lebih muda, melakukan pendekatan, sampai niatnya untuk berlanjut sampai ke ranjang. Akan tetapi, tidak cukup mudah untuk memenuhi nafsu dan niat eksplorasinya ini.
Nongkrong di cafe ternyata jadi cara Ia dalam menjalankan misinya. Sampai suatu ketika, saat Ia sedang menyaksikan sekelompok orang yang sedang melakukan sabung ayam, Ia bertemu tatap dengan pria muda dengan rambut klinis. Ia diketahui kemudian bernama Eugene Allerton, diperankan oleh Drew Starkey, yang merupakan seorang American GI soldier. Singkat cerita, ketika Lee dan Allerton berada dalam frekuensi yang sama, kedekatan keduanya pun lebih dari sekedar teman.
Berbekal rasa penuh ekspektasi tinggi, “Queer” ternyata tidak semegah yang saya bayangkan. Film yang disutradarai Luca Guadagnino ini terasa berhasil jadi suatu tontonan berkonsep, namun tak mampu memikat penonton. Seperti pada awalan kisahnya, cerita terasa bergerak terlalu cepat, dengan begitu lambat menjelaskan cara Lee untuk memikat Allerton, namun tak menjelaskan bagaimana keduanya bisa masuk dalam frekuensi yang sama.
Sebagai suatu adaptasi, saya seperti mendapatkan pengalaman yang sama ketika menyaksikan adaptasi “Naked Lunch,” karya Burroughs lainnya yang diadaptasi menjadi film dari David Cronenberg di tahun 1991. Salah satu simbolisasinya adalah kehadiran centipede ataupun penggambaran surrealisme yang sering disertakan sebagai bagian ciri khas ceritanya. Bagian yang cukup menarik disimak seperti saat Lee yang sedang menyaksikan miniatur, kemudian matanya menatap apa yang terjadi di dalamnya.
Perlu diketahui, William Lee sendiri adalah sebutan lain bagi Burroughs. Kala itu, Burroughs tengah dalam kasusnya, yang katanya tidak sengaja membunuh sang istri, Joan Volmer. Di kesendiriannya ini, Ia menjalin persahabatan dengan Adelbert Lewis Marker, yang kemudian menjadi inspirasinya dalam menulis novel dengan tema homoseksual yang cukup kental. Pada kenyataannya, Burroughs tak berhasil bersama Marker. Ia menjelaskan maksud queer dalam ceritanya jika love interest-nya sebetulnya tak punya niat bersama Burroughs, namun punya ketertarikan untuk mengeksplorasi secara seksual.
Secara penyajian, film yang dirilis di Venice Film Festival ini terasa digarap dengan lumayan ambisius. Guadagnino tetap konsisten dalam menghadirkan sajian adegan dengan estitetika yang menarik, sekaligus kemampuannya dalam membangun kesan sensual yang memang tidak se-erotis adegan buah dalam “Call Me By Your Name.” Sayangnya, seiring berjalannya cerita “Queer” seperti terjebak ke dalam tontonan yang seperti tidak tahu mau kemana.
Pada bagian awal, penonton akan diberi kesan dalam memahami sang karakter utama, termasuk upaya kerasnya untuk merebut hati Allerton. Setelah berhasil dicoba, cerita malah masuk ke dalam pusaran keinginan Lee untuk bisa menguasai Allerton dengan ajakan berpetualang ke Amerika Selatan. Pada bagian akhir, penonton malah disajikan cerita campuran petualangan sekaligus banyak keabsurdan, yang sayangnya malah terasa layaknya suatu sketsa komedi “Indiana Jones.”
Dari segi akting, saya memuji upaya Daniel Craig dalam film ini. Ini merupakan salah satu penampilan terbaik di sepanjang karirnya, selain dikenal lebih dulu dalam “No Time to Die” sebagai James Bond. Ia keluar dari zona nyaman dan menjelma sebagai pria paruh baya yang sedang puber kedua. Puber ini yang membangun keinginan karakter Lee untuk menguasai Allerton dengan teori telepati dan obat dari tanaman Yage-nya.
Dari sisi love interest, Drew Starkey, aktor yang sebelumnya dikenal dengan “Love, Simon,” tahu betul dalam memanfaatkan adegan-adegannya. Ia mampu hadir dengan memikat, terutama saat menebar pesonanya pada Lee di awal film, yang saya rasa juga mungkin akan menyambar kursi penonton. Chemistry yang dihadirkan keduanya juga terbilang menarik. Saya takjub dengan upaya Luca Guadagnino yang kerap memasangkan dua aktor yang terbilang straight dan menyulap mereka, sehingga tak ada rasa feminime yang hadir. Ini tampak terlihat jika kita menyaksikan “Call Me By Your Name,” ataupun film Ang Lee “Brokeback Mountain.”
Selain itu, ada karakter yang cukup membuat saya terkejut. Ia adalah Lesley Mansville, aktris veteran yang telah dikenal dalam “Mrs. Harris Goes to Paris,” “Back to Black,” maupun “Maleficent.” Disini, Ia hadir sebagai Doctor Cotter, yang merupakan peneliti asal Amerika yang hidup di tengah hutan dalam pedalaman hutan hujan Ecuador. Perawakan yang amat berbeda, dengan karakter yang selalu mengejutkan dengan gaya yang kerap menodongkan senjata, membuatnya lumayan mencuri perhatian di film ini.
“Queer” dihadirkan sebagai tayangan dengan durasi dua jam lebih, dan jujur, film ini terasa begitu panjang. Buruknya, komposisi penceritaannya terasa kurang seimbang. Disaat penonton akan penasaran bagaimana Allerton berhasil tertambat Lee sama sekali tidak diceritakan dan terasa begitu cepat. Pada bagian yang tak penting, misalnya saat Lee termenung akibat efek obat malah dibawakan dengan begitu lama. Potensi yang seharusnya dieksplorasi film ini malah kurang diunggulkan, sehingga saya cukup mengabaikan banyak detil yang ternyata jadi kurang terlalu berguna di dalam penceritaannya.
Alhasil, “Queer” memang jauh di bawah ekspektasi saya. Walaupun dikemas dengan begitu berkonsep, film ini kurang memikat selayaknya Allerton. Cerita yang kurang menarik, ditambah absurditas dan nuansa surrealisme yang rasanya cukup nanggung dihadirkan. Tanpa Craig, rasanya “Queer” dapat begitu mudah terlupakan.