Semenjak kemenangannya pada Cannes Film Festival lalu, film ini menjadi salah satu yang paling saya tunggu di musim penghargaan tahun ini. Berjudul “Anora,” sutradara Sean Baker akan menghidupkan kembali kisah prostitusi ke layar lebar dalam sentuhan drama komedi yang menakjubkan.
Baru saja dimulai, “Anora” sudah dengan begitu gamblang memberi kode akan ceritanya yang khusus dewasa. Opening credits dibuka dengan menampilkan kegiatan di sebuah klub striptease, yang banyak menghadirkan banyak buah dada bergelantungan, sekaligus pria-pria yang menikmati tarian sensual tersebut. Kemasan yang gelap, diwarnai oleh segelintir kerlap-kerlip lampu sekaligus memperkenalkan penonton dengan setting pertama film ini.
Headquarters Club, begitu namanya, adalah tempat Ani, diperankan oleh Mikey Madison, mencari nafkah. Ia dengan riang akan mendatangi tamu pria yang sedang sendiri, sambil memperkenalkan namanya, sebelum akhirnya melakukan aksi layanannya yang amat menggoda. Ia pun akan membawa pelanggannya ke sebuah kamar untuk menyaksikan Ia melakukan striptease, ataupun ke deretan sofa sambil menirukan gaya yang membangun keras ‘otong’ pelanggannya.
Pada malam itu, Ani diminta untuk menemani seorang tamu asal Russia. Tentu saja, Ia merupakan salah satu yang paling cantik, sekaligus mengerti bahasa Russia. Tak bisa menolak, Ia ternyata harus melayani Vanya, diperankan oleh Mark Eydelshteyn, seorang laki-laki muda yang ceritanya sedang berlibur di Amerika Serikat. Seusai perkenalan singkat, Ani membawa Vanya ke dalam kamar khusus itu, dan Ia melakukan aksinya. Bedanya, Ani seperti memiliki ketertarikan pada Vanya, sampai-sampai Ia melepas celana dalam tipisnya itu dan melontarkan ucapan jika Ia menyukai pria ini.
Selepas dari aksi tersebut, Vanya meminta nomor Ani. Ia kemudian meminta Ani untuk mendatangi rumahnya. Tentu saja, demi uang Ani menerima ajakan Vanya. Ia lantas tidak menyangka ketika melihat rumah Vanya yang amat besar, seperti gedung. Mereka pun kembali bersenggama, dan membuat Vanya untuk tidak dapat melepas Ani. Ia kemudian meminta Ani untuk mau menjadi pacar sewaannya selama 1 minggu. Tergoda dengan bayaran yang besar, Ani pun setuju.
Vanya kemudian memboyong Ani bersama-sama teman-temannya untuk menjalani kehidupan mewah di Vegas. Mereka menyewa suite terbesar, bermain casino, dan menikmati fasilitas yang paling teratas. Masalah kemudian dimulai ketika Vanya yang mabuk seks dengan Ani memutuskan untuk menikahi pacar sewaannya ini. Ani yang sudah mabuk kemewahan pun setuju, dan keduanya melakukan pernikahan dadakan di sebuah chapel di Vegas. Disinilah masalah dimulai. Ani tak akan menyangka dengan deretan kejadian bila Ia menikahi seorang Vanya.
Kata “Anora” pada judul film ini sebetulnya merupakan nama asli dari Ani, yang dipakai karakter utama dalam melakukan pekerjaannya. Sean Baker, sekali lagi, menyuguhkan cerita berlatar prostitusi dengan premis yang amat menarik. Bila sebelumnya “The Florida Project” amat berhasil mencuri hati saya, begitupula dengan film ini. “Anora” hadir sebagai drama pahit yang dikemas dengan cara menyenangkan, sensual, sekaligus berbalut sedikit komedi.
Kisah film ini ditulis oleh Sean Baker. Ia pun berperan sebagai sutradara, produser, dan juga editor film ini. “Anora” sendiri dirilis pertama kali di Cannes Film Festival, dan menjadi bagian dari official selection in competition, yang pada akhirnya menjadi peraih Palme D’Or tahun ini. Kemenangan ini tentu membuat film ini langsung menjadi salah satu front runner untuk musim penghargaan Hollywood. Maklum, pemenang tahun lalu saja seperti “Anatomy of a Fall” setidaknya mampu mendulang Best Original Screenplay di awal tahun ini.
Film ini sendiri berdurasi 139 menit. Rasanya cukup panjang, tapi saya sama sekali tidak merasa bosan. Babak pertama cerita rasanya bisa memancing nafsu, yang dipenuhi dengan nuansa kelab striptease, termasuk petualangan seks Ani dan Vanya. Ketika konflik dimulai, cerita pun masuk dalam kondisi serius, namun tidak keras, tetapi cukup menghibur. Karakter antagonis yang menampilkan tiga tokoh Rusia dan Armenia, hadir layaknya mengingatkan saya dengan kisah kejar-kejaran klasik sepanjang masa, “Home Alone.”
Melihat penampilannya, rasanya sulit untuk tidak menghargai totalitas akting Mikey Madison di film ini. Saya awalnya mengira jika ini merupakan film pertamanya, dan ternyata tidak. Sebelumnya Ia pernah bermain dalam film Quentin Tarantino yang berjudul “Once Upon a Time in Hollywood.” Sean Baker pun juga tidak melakukan audisi untuk karakter Anora. Ia memilih langsung Madison untuk memerankannya.
Walaupun penonton akan amat tergoda dengan adegan-adegan yang diperlihatkan Ani dan Vanya, saya merasa chemistry yang dibangun Madison dengan Eydelshteyn tidak sia-sia. Keduanya tidak terasa seperti kita menyaksikan adult star dalam film biru. Disini, Madison sampai mempelajari kehidupan prostitusi malam. Sampai-sampai Sean Baker dan istrinya, Samantha Quan, yang juga memproduseri film ini, memberikan contoh akan ekspektasi adegan-adegan seks yang diperlihatkan kedua aktor ini di layar lebar.
Karakter Vanya rasanya patut dibilang biang kerok. Aktor Mark Eydelshteyn mampu untuk membuat penonton gemas, dengan tampilannya sebagai anak orang kaya yang masih labil, dan senang berfoya-foya. Yang paling mencuri perhatian saya sebetulnya adalah karakter Igor, diperankan oleh Yura Borisov, yang merupakan orang bayaran yang dipakai keluarga Vanya untuk mengejar putra mereka. Borisov bisa menyulap karakternya yang tidak disangka jadi punya andil dalam cerita. Saya amat menikmati peran karakternya yang pendiam, keras tetapi juga masih punya respek pada Anora.
Bila dicermati, dari bungkusan cerita yang rasanya amat menghibur, “Anora” memperlihatkan kehidupan para perempuan yang berprofesi menjadi prostitusi secara dalam. Seperti Anora, Ia harus berakting untuk tampak antusias dan riang, sekaligus memanjakan pelanggannya. Padahal, hal ini amat berbeda di balik layar. Anora hadir seperti manusia biasa, yang juga butuh uang. Ia pun tak terima bila disebut perempuan jalang.
Aspek yang tak kalah menarik dari “Anora” adalah ketika film ini memasukkan unsur Rusia dan Armenia ke dalam ceritanya. Melihat kondisi Amerika Serikat-Rusia yang selalu tidak baik-baik saja, seakan menciptakan imej keras dan kasar sebagai stereotip karakter Rusia. Justru, “Anora” berhasil memanfaatkannya dengan melawan stereotip ini. Alhasil, film yang juga menggunakan dialog berbahasa Rusia ini malah jadi tontonan yang kadang membuat kita tertawa.
Bila melihat persaingan pada musim penghargaan tahun ini, saya sepertinya akan menjagokan “Anora” ke dalam banyak nominasi unggulan. Yang paling terutama adalah Best Original Screenplay, mengingat film ini tergolong feel good, yang sekilas memberi rasa yang sama saat saya menyaksikan “The Holdovers.” Tentu, Best Picture, Best Director, Best Actress in Leading Role, Best Production Design, Best Editing, dan mungkin Best Actor in Supporting Role untuk Borisov.
Akhir kata, “Anora” berhasil memenuhi ekspektasi saya. Saya agak ragu jika film ini bisa masuk layar nasional, melihat tema dewasanya yang amat kental, plus nudity yang berseliweran di film ini. Ini merupakan salah satu tontonan terbaik saya di tahun 2024. Setelah ini, saya pun akan menunggu film apa lagi yang akan digarap Sean Baker, yang selalu mengangkat kehidupan imigran dan pekerja seks. Brillianty sexy!