Film ini merupakan salah satu film tahun 2024 yang terlewatkan saya ketika Ia dirilis di layar lebar. “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” mengusung jajaran pemain yang tidak main-main, sekaligus menawarkan ragam citarasa baru yang akan mewarnai dunia romcom Indonesia. Anda ingin mencoba?
Cerita diawali dengan memperkenalkan penonton akan Bagus, diperankan oleh Ringgo Agus Rahman, yang memasuki ruangan sang produser, Pak Yoram, diperankan oleh Alex Abbad. Bagus tengah ditantang untuk menulis sebuah skenario film yang baru. Pak Yoram mengusulkannya untuk mengemas kembali sinetron-sinetron lamanya ke dalam versi layar lebar, layaknya yang kerap terjadi di perfilman masa kini. Alih-alih mau mengerjakannya, Bagus malah menawarkan sebuah cerita cinta, yang ingin dibuat berbeda, dengan kemasan hitam-putih.
Walaupun terasa orisinil, Bagus sebetulnya menceritakan kisah cintanya. Ia menceritakan ketika Ia bertemu dengan Hana, teman lamanya yang diperankan oleh Nirina Zubir. Hana baru saja ditinggal mati sang suami, dan masih dalam duka yang dalam. Pertemuan keduanya di supermarket, berujung dengan kelanjutan ngobrol di suatu café, sampai akhirnya Bagus menjadi cukup intens bertemu dengan Hana. Bagus pun berencana jika Ia ingin mengungkapkan cintanya selepas kisah cinta ini difilmkan.
“Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” merupakan film kedua sutradara Yandy Laurens, yang sebelumnya menghadirkan “Keluarga Cemara,” sekaligus meraih Piala Citra untuk Naskah Adaptasi Terbaik bersama Gina S. Noer. Disini, Laurens yang juga menulis skenarionya, menyajikan tontonan romance comedy yang memang amat tidak biasa.
Ketertarikan saya dengan film ini sudah bermula sejak bagaimana film ini memulai transisinya dalam membedakan mana yang realita dan bagian dalam kisah. Bagian dalam kisah terasa dalam segmen hitam-putih, yang kerapkali sering bertindak seraya dengan apa yang diucapkan Bagus, sang tokoh utama.
Salah satu momen favorit yang masih teringat dalam benak saya adalah ketika aksi kejar-kejaran Bagus yang ditemani kedua sahabatnya Cheline dan Dion, yang diperankan oleh Sheila Dara dan Dion Wiyoko. Di saat itu, Cheline yang merupakan seorang editor film membayangkan bagaimana mengemas cerita cinta Bagus dengan efek-efek sinematografi, yang juga diperlihatkan kepada penonton. Walaupun terlihat cukup teknis, namun penonton akan merasakan apa yang dibayangkan para filmmaker yang bercerita dalam medium visual.
Secara penyajian, sebagian besar dalam film ini dihadirkan dalam bentuk hitam-putih, namun juga namun ada beberapa scene berwarna. Treatment ini sedikit mengingatkan saya dengan film terbaru Christopher Nolan yang juga film terbaik 2023, “Oppenheimer.” Melihat dari plot ceritanya juga akan membuat penonton semakin tersadar akan kehadiran looping pada bagian akhir film yang berlanjut dengan bagian awal. Upaya ini akan membuat sebagian orang melihat sebagai tindakan kreatif yang cerdik, tetapi juga membingungkan bagi sebagian orang akan mana kisah Bagus dan Hana yang menjadi realita ataupun cerita versi lisan.
Dari segi penampilan, Ringgo Agus Rahman dan Nirina Zubir bisa meyakinkan penonton lewat kedua karakter mereka yang sebetulnya terlihat biasa-biasa saja, namun dipaksa jadi dua materi karakter utama. Dari sisi pendukung, ada Dion Wiyoko, Sheila Dara dan Alex Abbad, yang cenderung cukup menghidupkan suasana cerita yang terasa cukup monokrom.
Setidaknya, “Jatuh Cinta Seperti di Film-Film” terasa sebagai suatu eksperimen yang berani. Pengembangan cerita yang matang menjadi kunci kekuatan film ini. Tak hanya kisah Bagus dan Hana, tetapi juga bagaimana menyelipkan ragam teknis membuat film yang muncul, demi menghadirkan pengalaman menonton yang berbeda. Tontonan ini terbilang kurang jika sekali saja menyaksikannya. Kisah jatuh cinta seperti di film-film dengan penyajian yang tak sering seperti di film-film.