Kisah-kisah tentang sosok nenek, selalu memiliki daya tarik tersendiri untuk saya. Sebut saja “Lola” dari Filipina, ataupun tentang “Miss Granny” dari Korea, sampai “Minari” dan “The Farewell” dari Amerika Serikat. Kali ini, saya menyaksikan “How to Make Million Before Grandma Dies,” atau yang berjudul asli “Lanh mah.” Film asal Thailand ini menyuguhkan drama hangat yang tentu akan menguras air mata.
Sosok utama dalam “How to Make Millions Before Grandma Dies” adalah M, diperankan oleh Putthipong Assaratanakul aka Billkin. Sehari-hari Ia mengadu nasib menjadi game streamer, melepas sekolah termasuk potensinya yang dulu rajin juara. Ia hidup bersama sang Ibu, yang diperankan oleh Sarinrat Thomas, yang sehari-hari berprofesi sebagai karyawan di sebuah mini market.
Dari keluarga ayahnya, Ia memiliki sepupu bernama Mui, diperankan Tontawan Tantivejakul. Mui setiap harinya merawat Akong, sebutan untuk kakek, yang sudah tua dan tak berdaya. Singkat cerita, Akong meninggal dunia dan mewariskan rumah besarnya untuk Mui. Hal ini menjadi kejutan mengingat keluarga yang lain tidak mendapat jatah sebesar Mui.
Kembali ke M. Ia memiliki seorang nenek yang dipanggil Amah, diperankan oleh Usha Seamkhum. Suatu hari, Ia bersama keluarga dari sang Ibu mendatangi kuburan kakek. Tragedi kecil terjadi saat Amah terpeleset ketika menyebar bunga-bunga di atas makam. Saat didiagnosa, Amah ternyata sudah mengidap kanker usus stadium empat. M pun mendapat inspirasi seperti Mui yang mendapat durian jatuh. Akankah Ia berhasil merebut hati dan harta Amah?
Film ini merupakan debut featured film sutradara Pat Boonnitipat, yang sebelumnya sudah dikenal melalui penyutradaraan dalam serial seperti “Bad Genius” ataupun “Diary of a Tootsies.” Disini, Ia menulis naskahnya bersama Thodsapon Thiptinnakorn, yang sebelumnya menulis naskah untuk film-film hits seperti “Love Destiny: The Movie,” ”The Con-Heartist” ataupun “SuckSeed.”
Secara penyajian, film ini menawarkan drama dengan durasi yang lebih dari dua jam. Pada bagian awal, “How to Make Millions Before Grandma Dies” cukup lama untuk membuka ceritanya sampai masuk ke dalam segmen opening title. Apa yang dihadirkan dalam ceritanya terbilang relatable bagi penonton Asia. Film ini akan membahas hal-hal yang sering terjadi di dalam sebuah keluarga.
Karakter Amah yang tengah lanjut usia, dan ditengah ujian penyakit kanker yang dideritanya, malah membangun perhatian dari keluarganya. Malang, sebagian besar dari mereka punya motif transaksional dengan iming-iming warisan. Mau mengantar ke rumah sakit saja, pada ogah-ogahan. Semuanya punya alasan dengan kesan mengurus keluarga mereka masing-masing.
Kesendirian menjadi salah satu tema yang dibahas dalam film ini. Sosok Amah yang hidup sendiri di masa tuanya, dan selalu menanti kehadiran putra-putrinya di setiap weekend, menjadikan “How to Make Millions Before Grandma Dies” terasa begitu hangat. Yang saya sukai adalah ketika karakter M mulai tinggal di rumah Amah. Ada begitu banyak generation gap yang terjadi, dan mungkin juga terjadi di keluarga kita.
Salah satu yang teringat adalah ketika M yang lebih mudah dan ingin lebih simpel berupaya melawan tata cara yang dipegang Amah. Misalnya, ketika Ia diminta untuk hati-hati dalam menggeser patung Dewa, ataupun ketika M dengan simpel membuat teh sembahan yang tidak sesuai dengan cara Amah. Begitupula ketika sang nenek menyuruh M untuk bangun pagi dengan rujukan pepatah burung yang bangun di pagi hari lebih banyak mendapat cacing. Namun, M membalas jika burung yang bangun di pagi hari justru menjadi sasaran utama dan mati duluan. Alhasil, adegan-adegan tersebut mampu memicu ragam tawa di awal-awal film ini.
Film ini tahu betul bagaimana mengatur emosi penonton. Bagian awal penonton akan banyak tertawa dari kelucuan drama keluarga yang kemudian menjadi sentimentil seiring dengan kondisi Amah yang semakin parah. Titik klimaks film ini terasa seperti menampar penonton bahwa kadang apa yang dipikirkan oleh generasi tua seakan tidak bisa diterima oleh generasi yang lebih muda. Padahal, yang lebih tua dan banyak makan asam garam seperti Amah akan lebih bijak, walaupun berujung serangkaian pertanyaan.
Salah satu yang menohok disini adalah ketika Amah ditanya M mengapa Ia tidak sukai dikunjungi salah satu anaknya, Soei. Soei memiliki kehidupannya lebih tidak baik dari saudaranya yang lain. Amah merasa jika Soei mengunjunginya itu berarti Ia sedang tidak baik-baik saja. Untuk itulah Ia lebih berharap putra bungsunya itu untuk tidak datang, seraya menandakan jika Ia sedang baik-baik saja.
Baiknya lagi, karakter M dan Amah berhasil dihidupkan dengan kolaborasi chemistry yang kuat antara Billkim dan Seamkhum. Walaupun dialognya tidak berat, rasanya cukup sulit untuk menghidupkan hal-hal yang sederhana untuk bisa terasa dalam. Disinilai titik kehebatan film “How to Make Millions Before Grandma Dies.” Selain keduanya, karakter Ibu M yang diperankan Thomas juga selalu mencuri perhatian, dan menjadi karakter panutan yang saya sukai.
Ada momen menarik ketika saya menyaksikan ini di bioskop. Selepas film selesai, seantero penonton tidak ada yang keluar sampai menunggu closing credits film ini. Usut punya usut, banyak diantara mereka yang termehek-mehek. Pada akhirnya, rasanya terlalu mudah untuk merekomendasikan “How to Make Millions Before Grandma Dies.” Film asal Thailand ini akan kembali mengajarkan akan apa yang perlu dipahami anak akan orang tua mereka yang memasuki generasi lansia. Hal yang terasa klasik, namun tetap perlu dicermati. Two thumbs up!