Setting hotel dalam dunia film horror sudah tak menjadi sesuatu yang asing. Yang paling memukau bagi saya adalah ketika menyaksikan Jack Nicholson dalam “The Shining.” Bagaimana dengan film dari negeri sendiri? Sudah ada “Losmen Melati,” “308,” ataupun “Kamar 207.” Kali ini, “Panggonan Wingit” melanjutkan daftar tersebut dengan menghadirkan kota Semarang sebagai latarnya.
Bagian awal film ini menghadirkan sosok seorang pegawai hotel, yang telah diperingatkan oleh sang Ibu pemilik untuk tidak naik ke lantai 3. Panggilan suara malah membuat pegawai tersebut yang ingin tahu melanggar larangan tersebut. Ia kemudian bertemu dengan sosok seorang perempuan berbaju hitam, namun serba putih, yang kemudian menyebut, “tiga hari tengah malam.” Tak lama, sesuai ucapan tersebut, sang pegawai hotel tewas dengan naas.
Kisah kemudian memperkenalkan penonton dengan sosok kakak beradik bernama Raina dan Fey, yang diperankan oleh Luna Maya dan Bianca Hello. Keduanya terpaksa pindah ke Semarang, sepeninggal sang ayah, dan akhirnya ditampung di hotel tersebut. Disana pula, Raina bertemu dengan Ardo, mantan kekasihnya yang diperankan oleh Christian Sugiono. Kepindahan mereka disana membuat Raina ikut menjadi pengurus hotel yang semula peninggalan sang ayah.
Sama seperti kisah sebelumnya, Raina pun telah diingatkan untuk tidak ke lantai tiga. Alih-alih mendengar jeritan yang seakan meminta tolong, Ia pun melanggarnya. Keesokan harinya, Ia pun mulai mendapat serangan, akibat telah bertemu dengan sosok Menur, si penunggu hotel. Di saat yang bersamaan, Fey pun ikut melanggar ke lantai tiga, tanpa sepengetahuan Raina. Alhasil, kedua kakak-beradik ini mencari cara untuk menghentikan serangan-serangan Menur, dalam waktu yang cukup singkat.
Film ini disutradarai oleh Guntur Soeharjanto, yang sebelumnya sudah menggarap “Lampor,” “Makmum 2,” ataupun “Suzanna: Malam Jum’at Kliwon.” Pada garapan ini, yang ceritanya ditulis oleh Riheam Junianti, menghadirkan cerita yang dikemas cukup tertebak. “Panggonan Wingit” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang bermakna “tempat terakhir yang angker.” Sepanjang 110 menit, penonton akan menikmati suguhan cerita yang terasa berjalan begitu cepat, dengan elemen-elemen horror standar yang kerap anda temukan.
Tak begitu ada yang spesial dengan “Panggonan Wingit.” Babak pertama, sudah terlalu menggambarkan bagaimana yang akan terjadi dengan cerita sampai penyelesaiannya. Struktur cerita yang ditawarkan juga terasa biasa, mulai dari perkenalan karakter, gangguan-gangguan, lalu masuk mencari kunci yang dapat mengalahkan yang musuh, dan masuk ke resolusi. Jika anda mencari tontonan yang butuh kejutan-kejutan kecil, mungkin film ini bisa dipilih. Jika anda mencari yang lebih, hindari film ini.
Yang paling menarik dari “Panggonan Wingit” hanyalah ketika cerita flashback dihadirkan. Cerita awal kehadiran sosok Menur, duta horror di film ini, menawarkan cerita dengan setting masa lampau yang menarik. Sayang saja, cerita yang terasa terlalu cepat membuat “Panggonan Wingit” kurang berhasil untuk mendalami hubungan antar karakternya. Semua jadi semata-mata hanya untuk bertahan dari serangan kematian yang akan hadir setelah tiga malam.
Bicara dari aktingnya, aktris Luna Maya, yang kini kembali menghidupkan karakter Suzanna, hadir dengan penampilan yang biasa saja, seakan tak perlu banyak effort untuk memerankan karakternya. Ini amat berbeda jauh dengan apa yang saksikan ketika Ia memerankan Suzanna dalam remake “Beranak dalam kubur.” Begitupula kehadiran Christian Sugiono. Penampilan keduanya malah membuat saya melihat mereka memerankan diri mereka sendiri, mengingat karakter keduanya seperti tidak memerlukan upaya khusus.
Secara tampilan horor, “Panggonan Wingit” kurang membuat saya ketakutan. Biasanya, film-film horor Indonesia punya kesan relatable yang lebih tinggi dalam menakuti saya. Sayang, keseramannya terasa kurang, termasuk jump scare yang ingin disajikan. Rasa tegang pun tidak terasa ketika cerita masuk dalam posisi klimaks, salah satu faktor penambah kekecewaan saya dengan film ini.
Alhasil, “Panggonan Wingit” memang sebatas menghibur dengan horror yang kurang menendang. Sekali lagi saya tertipu dengan kata trending di platform Netflix. Tetapi begitulah. Apa yang trending belum tentu sepadan dengan kualitas yang dihadirkan. Sekali lagi, mungkin cukup sekali saja untuk menyaksikan film ini. Terima kasih.