Berasal dari Filipina, “The Gospel of the Beast” akan menawarkan suguhan drama yang penuh citarasa akan kejamnya kehidupan. Film yang ikut serta dalam kompetisi Southeast Asia Film dalam Ho Chi Minh International Film Festival ini benar-benar tidak akan terduga.
Cerita diawali dengan memperkenalkan penonton dengan sosok Mateo, seorang anak laki-laki yang masih berusia 15 tahun, diperankan oleh Jansen Magpusao. Ia merupakan anak troublemaker di sekolah. Walaupun demikian, Ia masih banting tulang untuk membantu keluarga kecilnya di sebuah tempat pemotongan babi. Hilangnya sang Ayah, tanpa kabar, disertai dengan ancaman dari penagih hutang, memberikan kecemasan akan kedua adiknya.
Suatu ketika, seorang teman kelas Mateo terbilang cukup menyebalkan. Anak yang ceritanya jago renang ini menantang Mateo untuk berenang, dengan imbalan yang kalah harus menjadi hamba yang menang. Malang, kompetisi tersebut harus berakhir dengan perkelahian yang menewaskan temannya. Mateo kemudian panik, berupaya kabur dari masalah yang dibuatnya, dan mencoba masuk ke dalam kehidupan sang paman, yang diperankan oleh Ronnie Lazaro. Malangnya lagi, Ia tidak akan pernah membayangkan bila dunia yang akan Ia masuki lebih jahat, gelap, dan kejam.
“The Gospel of the Beast” akan membawa penonton pada alur cerita yang menurut saya digarap dengan durasi yang pas. Film dibuka dengan situasi sebuah tempat pemotongan babi, yang sedari awal sudah menunjukan adegan eksplisit yang terasa kasar, yang seakan memberi bayangan apa yang akan terjadi ke belakang. Cerita yang ditulis dan disutradarai Sheron Dayoc ini menghadirkan sebuah tema coming-of-age yang seakan dikombinasikan gaya gangster “The Godfather,” namun ala Filipino.
Secara penyajian, film ini akan terasa cukup brutal, namun masih dalam konteks yang dapat diterima. Dalam arti, ini yang mungkin sering terjadi dalam realita, walaupun amat menyakitkan untuk disaksikan. Kehidupan Mateo yang masuk ke dalam kelompok pembunuh bayaran memperlihatkan bagaimana Ia yang berupaya lari dari kenyataan, harus terjebak dengan kehidupan paman yang cukup punya adikuasa.
Yang amat menarik dalam “The Gospel of the Beast” adalah bagaimana treatment yang dilakukan oleh karakter sang paman kepada keponakannya. Mulai dari cara lunak di bagian awal, sampai toleransi yang kemudian berujung dengan pengajaran yang keras. Di sisi lain, upaya Mateo untuk dibutakan akan kebaikan dunia dari serangkaian aksi jahat yang ikut dilakukannya, juga turut mengubah cara pandangnya akan kehidupan. Kata Mateo, Ia tidak percaya akan surga dan neraka. Ketidakadilan inilah yang diperlihatkan ketika Ia meludahi air suci di suatu gereja.
Transformasi sudut pandang akan karakter Mateo ajaibnya berhasil diperankan dengan amat maksimal oleh Jansen Magpusao. Saya amat menyukai penampilannya di film ini. Sosoknya yang tidak mau di remehkan, diinjak, dan Ia berubah mengalahkan semuanya. Pada akhirnya, dendam kesumat tidak akan berakhir, apalagi ketika sudah dibutakan akan kebaikan dan kasih.
Aspek cerita yang amat berani inilah yang membuat saya amat tidak menyangka dengan apa yang ditawarkan “The Gospel of the Beast.” Film ini menggertak saya, dan memberikan respon yang amat berkesan setelah menyaksikannya. Bila membandingkan film-film Filipina lainnya, film ini juga menyentil topik kemiskinan, seperti yang diangkat “Lola” ataupun “Insiang.”
Jujur, ini tontonan yang paling membuka mata saya selama di Ho Chi Minh City International Film Festival (HIFF). Keras dan kejamnya dunia akan membutakan kita, dan berujung melihat manusia lain layaknya babi-babi di awal film. Sosok Mateo pun bukan protagonis yang sempurna. Ia hadir menjadi contoh tepat, lewat resolusi cerita yang cukup mengejutkan dan memukau saya. Sekali lagi, “The Gospel of the Beast” adalah tontonan yang menakjubkan. Kisahnya akan membius sekaligus menegaskan jika tanpa kebaikan, tidak akan ada suatu akhir untuk kejahatan. Saya pun berakhir speechless. Brilliant!