Terpilih sebagai salah satu kandidat film dokumenter pendek terbaik, membuat saya cukup penasaran dengan ceritanya. “The Last Repair Shop” merupakan tontonan yang akan membawa penonton tentang cerita dari sebuah toko terakhir yang mereparasi alat musik bagi sekolah-sekolah di Los Angeles.
“The Last Repair Shop” memulai ceritanya dengan menghadirkan seorang anak perempuan yang selalu kurang perhatian keluarganya yang sering sakit-sakitan. Ia mencintai biolanya, walaupun tak ada yang punya waktu padanya. Kisah ini adalah satu dari beberapa anak yang menjadi highlight dalam ceritanya.
Tak hanya cerita para customernya, “The Last Repair Shop” juga membawa kisah dari para tukang mereka. Sepintas, toko kecil ini terdiri dari empat bagian, terdiri dari brass, woodwind, string, dan piano. Dokumenter pendek ini pun akan membahas tokoh dari masing-masing bagian, sekaligus dengan selipan cerita menarik dari beberapa anak.
Dari deretan ceritanya, temanya hadir cukup bervariasi. Mulai dari salah satu tokoh yang gay, kisah tentang perempuan kuat yang mengadu nasib di Los Angeles, sampai kisah kehidupan imigran di Amerika. Kesemuanya ini menjadi dinamika “The Last Repair Shop” yang membuatnya terasa lengkap, dan disatukan oleh musik.
Secara penyajian, sebetulnya tak ada yang terlalu spesial dengan “The Last Repair Shop.” Film ini dikemas dengan gabungan rangkaian wawancara, walaupun sesekali ada beberapa cuplikan bagaimana para tokoh memperbaiki alat musik. Namun, dari pesan ceritanya, “The Last Repair Shop” terasa powerful. Film ini mau membahas keempat pahlawan bagi anak-anak di Los Angeles. Biarpun terlihat cuma memperbaiki alat musik, apa yang dikerjakan keempatnya sebetulnya punya dampak yang luar biasa untuk anak-anak.
Film ini awalnya dirilis di Telluride Film Festival, dan kemudian membangun perhatian di musim penghargaan tahun ini ketika memenangkan penghargaan dokumenter terbaik pada Critic’s Choice Documentary Awards. Gaung ceritanya semakin meluas, apalagi ketika terpilih menjadi salah satu nominasi film dokumenter terbaik di Academy Awards tahun ini.
Sekilas, film ini saya rasa hadir sebagai sebuah tribut bagi tokoh-tokoh di dalam toko yang punya dampak besar. Sayangnya, sebagai tontonan, pesan ini hadir begitu saja, mungkin karena penyajiannya yang mengingatkan saya seperti menyaksikan suguhan berita atau editorial di televisi. Begitupula dengan kesaksian dan cerita anak-anak. Walaupun terliaht menarik, tetapi berakhir begitu saja.
Cuma satu yang saya rasa menarik dari “The Last Repair Shop.” Saya menyukai ketika film ini menghadirkan aksi orkestra yang diramaikan oleh anak-anak, yang terasa seperti alumni customer dari toko reparasi ini. Pada akhirnya, ini adalah sebuah suguhan dokumenter tentang pahlawan tak terlihat, dan kisah akan dampak yang mereka kerjakan. Sebuah aksi bertahan demi mempertahankan semangat bermusik anak-anak yang patut dicontoh. Sebagai sebuah tontonan, saya cukup menjaminnya sebagai tontonan inspirasi yang sedikit membosankan.