Nama Lourdes tidak akan asing bagi para pemeluk Katolik. Sebab, kota yang terletak barat daya di Perancis ini merupakan salah satu situs ziarah terbesar. Dahulu, seorang perempuan bernama Bernadette Soubirous, yang kini dikenal sebagai Santa Bernadette bertemu dengan penampakan Bunda Maria di sebuah mata air. Kini, orang-orang berbondong mengunjungi tempat suci tersebut, sekaligus menantikan mukjizat, sebagaimana “The Miracle Club” berkisah.
Film ini diawali dengan sosok perempuan senior bernama Lily Fox, diperankan oleh Maggie Smith, yang sedang mengunjungi prasasti mendiang putranya. Menariknya, Ia bersama dua rekannya berupaya mengikuti sebuah kontes di gereja, yang hadiahnya merupakan kegiatan ziarah bagi tim pemenang. Dalam tim pemenangannya ada dua sosok lain. Mereka adalah Eileen Dunne, sahabat dekatnya yang diperankan Kathy Bates, dan Dolly Hennessy, diperankan oleh Agnes O’Casey, seorang Ibu muda yang menantikan putranya agar bisa berbicara.
Singkat cerita, ketiganya melaksanakan pentasnya dengan meyakinkan. Di tengah kegiatan, seorang perempuan bernama Chrissie Ahearn, yang diperankan oleh Laura Linney, memberikan kejutan. Kehadirannya seakan ditolak Lily dan Eileen. Chrissie sendiri merupakan putri dari mendiang Maureen, yang merupakan sahabat Lily dan Eileen, yang baru saja meninggal. Masalahnya, Chrissie ternyata punya masalah yang membuat dirinya baru hadir selepas meninggalnya sang Ibu.
Membahas ceritanya, “The Miracle Club” awalnya membangun banyak ekspektasi bagi saya. Anggapan awal lewat setting Lourdes membangun rasa jikalau film ini akan hadir sebagai sebuah tontonan religi. Termasuk dengan rasa penasaran saya dengan hubungan Lily, Eileen, dan Chrissie yang tampak tidak baik-baik saja.
Seiring berjalannya cerita, malangnya “The Miracle Club” tidak hadir dengan kejutan-kejutan tersendiri. Film yang kemudian mengisahkan perjalanan ziarah malah terasa jadi tontonan yang hangat, namun kurang berkesan. Sadisnya, “The Miracle Club” terasa menyia-nyiakan kualitas ketiga pemeran utamanya. Terutama Smith dan Bates, kedua pemenang Best Actress Oscars yang terbilang legenda.
Walaupun cerita persahabatan ibu-ibu terasa cukup familiar di dalam benar saya, terutama ketika mengaitkan sosok Kathy Bates sebagai Evelyn Couch dalam “Fried Green Tomatoes” yang punya hubungan persahabatan dengan Ninny Threadgood, yang diperankan Jessica Tandy. Bila membandingkan film tersebut dengan ini, “The Miracle Club” memang terasa masih kurang.
Kalau bicara penyajian, sebetulnya “The Miracle Club” terbilang mendapatkan penggarapan yang cukup rapi. Sentuhan sinematografi yang menghadirkan kehidupan kecil dari sebuah kota di Irlandia, dengan penyajian kehidupan masing-masing karakter yang punya dinamika masing-masing. Yang jadi masalah, kesan ini hanya terasa bagus, namun kurang berkesan.
Alhasil, “The Miracle Club” terasa kurang menendang. Film yang memang bukan film religi ini pada akhirnya memang akan menutupp ceritanya dengan rapi, walaupun sebetulnya tidak memiliki plot-plot yang terasa penting. Sebetulnya tidak mengecewakan, namun kurang memanfaatkan potensi-potensi yang ada dari cerita dan castnya.