Mengambil dari sebuah ungkapan kaget dalam bahasa Minang, “Onde Mande” tahu betul bagaimana menunjukkan identitasnya. Film ini akan berkisah tentang sebuah semangat seorang Minang yang berupaya ingin memajukan kampungnya, namun tak akan pernah tahu jikalau semuanya akan menjadi begitu runyam.
Cerita “Onde Mande” dimulai dengan sebuah narasi yang akan memperkenalkan penonton dengan sosok Angku Wan, diperankan oleh Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto, yang ceritanya adalah seorang mantan guru. Menariknya, Ia dikenal sebagai sosok yang keras. Saking kerasnya, sang Istri dan anak meninggalkan dirinya untuk merantau ke kota. Semua berawal dari keinginannya untuk tetap menjaga dan mengembangkan kampung tercinta.
Pria yang cukup keras ini tetap dihormati. Salah satunya oleh Da Am, diperankan oleh Jose Rizal Manua, yang sudah menganggapnya seperti seorang ayah. Da Am sendiri sudah berkeluarga. Ia memiliki seorang Istri bernama Ni Ta, yang diperankan oleh Jajang C. Noer; beserta kedua putra putrinya, Afdhal dan Si Mar, yang diperankan oleh Shenina Cinnamon dan Rivanzsa Alfath. Sehari-hari, Da Am bersama istrinya mengurus lapau, yang berarti warung dalam Bahasa Indonesia.
Suatu ketika, Angku Wan datang seorang diri ke lapau Da Am. Ia ditawari Ni Ta untuk minum, dan memilih teh telur yang dicampur dengan gula merah. Pria tua itu ternyata datang untuk menyaksikan pengumuman undian yang diikutinya. Ia mengikuti sebuah undian dari sebuah produk sabun yang berhadiah 2 milyar Rupiah. Setelah bertahun-tahun, tak disangka, Ia menjadi pemenang utama undian tersebut. Malang, saat menjelang kepergiannya untuk menjemput hadiah, Ia sudah dipanggil duluan oleh Yang Maha Kuasa. Alhasil, cerita menjadi semakin runyam dalam upaya mengambil hadiah tersebut oleh Da Am dan Ni Ta, demi kehidupan kampung yang lebih baik.
Film ini ditulis dan disutradarai oleh Paul Agusta. Setelah habis menyaksikan “Onde Mande,” penonton akan menyadari bila film ini merupakan sebuah tribut bagi mendiang ayah sang sutradara. Hal inilah yang mungkin menjawab mengapa saya merasa jika film ini terasa digarap begitu personal. Secara penyajian cerita, hampir keseluruhan dialog dalam film ini dikemas dalam bahasa Minang. Anda akan menemukan Bahasa Indonesia sesekali, itupun ketika para pemainnya bertemu dengan ‘orang Jakarta.’ Secara penyajian, saya cukup teringat dengan “Ngeri-ngeri Sedap” yang mengangkat kehidupan perkampungan di Sumatera. Sama dengan film ini, “Onde Mande” akan memperlihatkan kita akan keindahan kehidupan pedesaan, termasuk menjual Danau Maninjau dan fenomena Tubo Belerangnya.
Membahas ceritanya, film yang berdurasi 97 menit ini terasa membangun bagian demi bagian dengan cukup seru. Mulai dari kematian Angku Wan yang mendadak, sampai berbagai rencana-rencana yang sekilas terduga, namun jadi tak terduga. Selama menyaksikan “Onde Mande” saya cukup terhibur dengan kesan komedi yang ditampilkan. Sosok Da Am yang panikan, ditambah Afdhal yang selalu jadi korban, menjadi bumbu komedi yang seru dinikmati.
Dari penyajian seluruh karakternya, entah mengapa saya cukup terfokus pada karakter Ni Ta. Ni Ta bagaikan pemegang kendali cerita, yang mungkin sekilas terlihat seperti antagonis. Namun, berhubung ini sebuah film komedi, Jajang C. Noer tahu betul bagaimana untuk tetap menjaga agak karakternya tidak terlalu dipandang jahat, tetapi juga dibutuhkan, sebab Ia amat penting dalam pengembangan cerita film ini.
Selain itu, saya suka penggambaran akan orang-orang Ibukota di film ini. Ketika dua karakter bernama Hadi dan Huda ditugaskan sang ayah untuk mencari saudara mereka di Jakarta, saya tidak terlalu menyangka jikalau orang-orang Ibukota yang terlibat adalah bagian dari komedi. Konsep ini meneguhkan sebutan ‘don’t judge a book by its cover,’ yang malah dalam cerita jadi pendukung suportif bagi Hadi dan Huda yang super insecure ketika di Jakarta.
Alhasil, “Onde Mande” jadi film Indonesia pertama yang amat memberikan kejutan buat saya, yang selalu tidak terlalu mau punya banyak ekspektasi. Film yang awalnya mungkin terasa datar di 5 menit awal ini bisa berubah untuk terus membangun rasa penasaran saya dengan konklusi sampai di akhir. Memang sih, ada bagian yang mudah tertebak, namun Agusta cukup cerdik untuk membuatnya sebagai tontonan yang akan membuat kita tertawa, untuk ukuran tontonan yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia secara penuh. Film ini pun ditutup dengan cukup jelas, dan benar-benar menghibur saya. Inilah contoh tontonan yang mampu mengurai kerumitan dengan cara yang seru.