Pernah tidak sih ketika kita menyadari hewan-hewan di sekitar kita sebetulnya memiliki cara berbicara yang menyerupai kita, manusia? Contoh yang paling khas mungkin adalah burung, seperti Parkit, Kakatua, Beo sampai Nuri. Kali ini, saya akan membahas sebuah film bertema dengan hewan yang katanya bisa berbicara juga. Cerita yang diangkat dari kisah nyata ini, membuat “Nandor Fodor and the Talking Mongoose” jadi film yang mencuri perhatian saya.
Kisah dalam film ini sebetulnya diambil pada setting di dekade 40-an di Inggris. Kala itu, Gef, seekor mongoose dari kepulauan Isle of Man, membuat geger media. Hal ini memancing seorang parapsikolog, Nandor Fodor, yang diperankan oleh Simon Pegg, untuk melakukan kegiatan penelitian disana. Sebelumnya, Fodor cukup dikenal dengan kemampuan skeptisnya dalam berupaya membuktikan fenomena-fenomena spiritual. Apalagi ketika Ia dilengkapi dengan beberapa dokumen dari Dr. Harry Price, yang diperankan oleh Christopher Lloyd, yang sudah lebih dulu mencari tahu tentang Gef.
Fodor kemudian mengunjungi Cashen’s Gap, sebuah area pertanian dan peternakan yang dikelola oleh keluarga Irving. Untungnya Fodor tidak sendiri. Ia ditemani asistennya Anne, yang diperankan oleh Minnie Driver. Kedatangan keduanya pun disambut baik oleh Mr. Irving, yang diperankan oleh Tim Downie. Fodor pun kemudian berkenalan dengan beberapa sosok di desa itu sekaligus memulai petualangannya untuk membuktikan jika Gef memang benar-benar nyata.
Film ini ditulis dan disutradarai langsung oleh Adam Sigal. Dari segi penceritaan, film yang bertema black comedy ini dikemas dengan sajian yang cukup menarik. Misalnya, dari dialog yang layaknya film-film asal Inggris lainnya, yang banyak menggunakan kata-kata yang kurang populer, namun terasa intelek.
Sayangnya, saya merasa Sigal kurang berhasil menendang dengan black comedy-nya. Walaupun sebetulnya, ensemble cast dari film ini cukup berperan dengan terlalu serius. Contohnya, karakter Fodor yang diperankan oleh Simon Pegg, yang kita ketahui lewat aksi komedi kentalnya dalam “Hot Fuzz,” tiba-tiba hadir dengan gaya method acting yang tidak berhasil memecah tawa sekalipun. Padahal, konsep dari “Nandor Fodor and the Talking Mongoose” sebetulnya sudah lumayan oke. Karakter-karakter pendukungnya punya ragam keunikan yang memberikan kesan peculiar pada ceritanya.
Dari segi penyajian, “Nandor Fodor and the Talking Mongoose” sebetulnya digarap dengan baik. Film ini punya kualitas sinematografi yang rapi, menawan, layaknya kita menyaksikan film-film asal Inggris lainnya, misalnya seperti “The Banshees of Inisherin” ataupun “Philomena.” Dari beberapa adegannya, yang paling berkesan buat saya adalah cara film ini dalam menghadirkan scene-scene dengan set yang indah.
Pada akhirnya, cerita film ini berakhir bukan lagi dengan fokus Gef, tetapi berupaya menggali motif dibalik kehadirannya. Sayangnya, poin ini juga tidak dikemas baik, melainkan penonton akan digantung, mungkin dengan upaya bisa mencari tahu sendiri konklusinya di om Google. Cuma satu ketertarikan saya pada cerita di film ini, yaitu ketika Fodor mengambil kesimpulan penelitiannya saat berbincang dengan Price di akhir cerita.
Akan tetapi, apalah arti penyajian teknis yang menarik namun gagal bersinar melalui penceritaannya? “Nandor Fodor and the Talking Mongoose” dapat menjadi salah satu contoh baik dari tahun 2023. Sepanjang menikmati ceritanya, saya tetap optimis, tanpa ekspektasi, untuk berharap adanya hal yang ‘menendang’ dari alurnya. Sayang, “Nandor Fodor and the Talking Mongoose” malah menutup ceritanya dengan ketidakjelasan pada tema utamanya, yang membuatnya menjadi tidak terlalu menarik.