Berhubung suka mengamati, salah satu hal yang sering saya perhatikan ketika ke sebuah tempat adalah ketika kelompok-kelompok orang yang datang slaing berinteraksi. Ada yang sama pasangannya, rombongan, teman kampus, sampai pitching business. Tanpa sengaja, kadang apa yang mereka bahas pun terdengar. Kali ini, ada sebuah film dari Filipina berjudul “About Us But Not About Us” yang akan membawa kita dari suatu percakapan makan siang yang tak terduga.
Ericsson, yang diperankan oleh Romnick Sarmenta, baru saja tiba di sebuah restoran, yang ambience-nya mengingatkan saya dengan situasi di daerah Kuningan. Dari dalam mobil, Ia menggunakan concealer, sampai akhirnya menerima SMS jikalau orang yang ingin ditemuinya telah tiba. Sosok yang ditemuinya adalah Lancelot, yang di film ini banyak dipanggil dengan sebutan Lance. Lance, yang diperankan oleh Elijah Canlas, merupakan salah satu mahasiswa Eric di program Bahasa Inggris.
Pertemuan keduanya seakan menyiratkan pada penonton akan hubungan keduanya yang dekat. Sedari awal, Eric sudah memberikan statement jika Ia menganggap Lance seperti anaknya, bukan sebuah hubungan percintaan. Diawali dengan pembicaraan helm Lance yang terinspirasi dari Daft Punk, keduanya masuk ke dalam sepotong konspirasi Daft Punk, sampai ke perbincangan yang menjadi semakin serius dan tak terduga.
Ini film kedua dari Jun Lana yang saya tonton. Jika sebelumnya saya cukup tergugah dengan gaya unik dalam “Ten Little Mistresses,” film yang dibuat sebelumnya ini menawarkan hal yang amat berbeda. Tak ada kesan musikal ataupun kostum yang quirkey, tapi penuh dengan drama. Walaupun sebetulnya, cerita yang diangkat sama-sama bertema LGBT, sebagaimana Lana.
Sepintas, jika hanya melihat durasi 91 menit untuk menyaksikan dua orang yang saling berargumen rasanya akan terasa membosankan. Sebaliknya, saya amat menikmati bagaimana kedua karakter yang dihadirkan membicarakan berbagai macam topik, yang terasa mengalir begitu saja, sekaligus menyisihkan potongan-potongan detil yang digunakan dalam babak selanjutnya.
Saya tidak mau terlalu banyak membocorkan apa yang sebetulnya kedua karakter ini bicarakan. Yang pasti, plot film ini terasa cukup memancing rasa ingin tahu saya sepanjang menonton. Ditambah lagi, setting dengan masa pandemi menjadi topik pembicaraan yang tak lepas. Misalnya ketika Lance yang tidak setuju dengan kebijakan social distancing, atau bagaimana keheranan Eric dengan dunia perlendiran semasa pandemi.
Secara penampilan, saya menyukai chemistry keduanya. Karakter Eric terasa begitu misterius diperankan, sampai sejujurnya akhirnya saya yang terkecoh dengan karakter Lance. Awalnya, keduanya tampak seperti protagonis yang kemudian tak pantas lagi disematkan. Kepiawaian Canlas dalam memerankan Lance, membuatnya cukup bersanding dengan Sarmenta, yang telah jauh lebih senior di dunia layar lebar. Aktor muda ini sebetulnya terbilang cukup prestatif lewat perannya sebagai Kalel di “Kalel, 15.”
“About Us But Not About Us” tidak akan terlalu menggugah anda dengan suguhan sinematografi ataupun setting yang megah. Film ini terbilang minimalis. Minim pemain, minim setting, minim soundtrack, walaupun amat menonjol dari segi cerita. Film yang dirilis pada Tallinn Black Night Film Festival ini berhasil terpilih sebagai film terbaik untuk Critics’ Pick Competition.
Bila Anda tergolong sebagai penonton yang lebih mencari cerita, “About Us But Not About Us” mungkin dapat di consider. Akan tetapi, sebaiknya hindari film ini jika Anda sensitif dengan cerita bertema LGBT, ataupun film yang penuh dengan dialog. Kalau saya sendiri cukup menikmati film ini, mulai dari cerita yang terus memancing rasa penasaran, penampilan yang mendukung, dan konklusi yang tak terduga. Well done!