Akhirnya saya berkesempatan untuk menyaksikan feature debut dari salah satu sutradara perempuan kenamaan, Kamila Andini. Kali ini, “The Mirror Never Lies” akan membawa penonton akan sebuah cerita dari tanah Wakatobi, tempat Suku Bajo berdiam.
Dua tokoh utama dalam film ini adalah Pakis dan Tayung. Pakis, yang diperankan oleh Gita Novalista, adalah seorang anak perempuan yang sehari-hari selalu tidur di kelas. Semua berkat upayanya untuk menunggu di malam hari, sebab Ayah tercinta belum pulang-pulang dari melaut. Ia pun sampai-sampai pergi ke dukun setempat, untuk mencari kebenaran kondisi sang Ayah.
Lain lagi dengan Tayung, perempuan dewasa yang diperankan Atiqah Hasiholan. Tayung, adalah Ibu Pakis, yang sudah tidak berada di level menanti layak sang putri. Ia harus bekerja keras dengan mengumpulkan kerang dan bertani rumput laut, demi bertahan hidup. Di tengah konflik ini, ternyata keduanya tidak sedang baik-baik saja.
Cerita pun diberi bumbu, dengan hadirnya seorang peneliti lumba-lumba bernama Tudo, yang diperankan oleh Reza Rahadian. Tudo ternyata mendapat restu dari kepala kampung untuk tinggal di rumah Tayung dan Pakis. Dalam perjalanan penelitiannya ini, Tudo akhirnya memahami dinamika Pakis dan Tayung, yang satu berkutat pada harapan, dan yang satunya berkutat pada kenyataan.
Awalnya, film ini lumayan menggugah saya. “The Mirror Never Lies” memiliki setting di wilayah Wakatobi, salah satu daerah dengan diversitas biota alam tertinggi di Indonesia. Wilayah ini didiami oleh Suku Bajo, dimana mereka hidup di laut. Suku yang katanya sempat menginspirasi James Cameron dalam mengembangkan cerita “Avatar: The Way of Water” sebetulnya punya alasan sendiri, mengapa mereka mau hidup di laut. Semuanya dijelaskan di film ini.
Pastinya, penonton akan disuguhkan setting pedesaan laut yang masih natural dengan latar belakang keindahan laut Indonesia. Tak bosan-bosan, Andini juga memasukkan scene-scene dari dalam laut, yang saya rasa juga tidak lepas dari campur tangan WWF selaku produser film ini. Cerita pun diperparah dengan embel lumba-lumba yang sama sekali terasa kurang relate dengan kisah Pakis dan Tayung.
Akan tetapi, observasi akan Suku Bajo lumayan dikembangkan dengan baik. Saya amat menikmati upaya Andini untuk menghadirkan dialog-dialog berbahasa Bajo, walaupun sayangnya tidak dihadirkan dalam narasi Pakis yang sering muncul. Upaya Atiqah Hasiholan dan Gita Novalista pun patut diberi jempol. Hasiholan yang juga dikenal sebagai bintang sabun ini benar-benar hadir down to earth dan kesan warlok aka ‘warga lokal’-nya benar-benar terasa. Berbeda dengan Gita Novalista, yang awalnya saya kira memang warga lokal, ternyata upayanya dalam memerankan Pakis juga sama-sama sehebat Hasiholan.
Entah berhubung saya menyaksikan film ini dalam kualitas high definition dari sebuah platform daring, saya kurang menyukai bagaimana kontras yang terasa dikemas terlalu terang untuk suasana terik lokasinya. Ketajaman dan kualitas sinematografi juga amat jauh bila kita bandingkan dengan karya Andini berikut seperti “Before, Now and Then” yang betul-betul berkualitas.
Seiring cerita berjalan, sayangnya, “The Mirror Never Lies” belum dapat menyamai bagaimana rasa penasaran saya dengan ceritanya. Kisahnya menjadi terlalu terjebak dengan cermin Pakis, karakter Pakis yang semakin tak karuan, dan datarnya scene yang juga sempat saya temui di “Sekala Niskala.” Andai saja, ceritanya semakin mengeksplor Tayung ketimbang Pakis, saya rasa “The Mirror Never Lies” akan menjadi semakin berbekas.