Apa kalian masih ingat dengan peristiwa naas dari Malaysian Airlines MH17 di tahun 2014 lalu? Sehubungan dengan peristiwa tersebut, “Klondike” hadir dalam memperlihatkan bagaimana potret kehidupan beberapa masyarakat Ukraina di wilayah konflik. Lalu, apa hubungannya?
Sebelum terlalu jauh, saya akan memperkenalkan anda dengan dua tokoh utama di dalam cerita ini. Pertama, adalah seorang pria yang bernama Tolik, diperankan oleh Sergey Shadrin, yang terlihat hanya seperti masyarakat pada umumnya. Ia hidup bersama karakter kedua, Irka, diperankan oleh Oksana Cherkashyna, yang merupakan istri Tolik. Kala itu, Irka sedang tengah hamil tua dan sedang bersiap untuk melahirkan.
Malangnya, mereka hidup di Donetsk. Donetsk sendiri merupakan salah satu wilayah di Ukraina yang terbilang sebagai wilayah konflik. Bila berkaca dengan situasi saat ini, Donetsk merupakan salah satu wilayah yang kini telah dikuasai Russia dalam perang dengan Ukrania pada beberapa tahun terakhir ini.
Ternyata, kehidupan di wilayah konflik terbilang tidak menyenangkan. Tolik dan Irka, harus hidup pas-pasan seiring datangnya gerombolan tentara separatis yang cuma bisa merongrong. Mulai dari rumah mereka yang sempat ditembaki hingga hancur setengah, ladang tomat yang rata, sampai-sampai harus mengorbankan sapi satu-satunya untuk para tentara. Aduh memang, Tolik dan Irka benar-benar tak berdaya.
Lalu, datanglah sosok Yaryk, adik Irka yang diperankan oleh Oleg Shcerbina. Yaryk merupakan anak muda yang pro-Ukraina. Ia baru saja kembali menghampiri kakaknya, untuk menjemputnya. Akan tetapi, Irka yang keras hati tak mau pergi bersama Yaryk. Yaryk pun membangun konflik seiring Ia menemukan seragam pasukan separatis yang diberikan untuk Tolik.
Saya sudah tidak mau melanjutkan lagi ceritanya. “Klondike” benar-benar terbilang sebagai tontonan dengan penceritaan yang amat menyakitkan, sedalam-dalamnya. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Maryna Er Gorbach, yang pada akhir film ini membuat tribut film ini untuk para wanita. Memang, spirit perempuan yang sabar, keras, dan teguh, dihadirkan dari sisi Irka yang mampu unjuk taring di dalam rumah.
Dari segi penceritaan, film yang berdurasi sepanjang 100 menit ini sebetulnya tidak menawarkan cerita yang terasa rumit. Bila dipilah-pilah, sebetulnya film ini tidak terlalu memiliki banyak adegan. Gorbach mengemasnya dengan pace yang lambat, seraya menjadikan penonton sebagai observer yang tepat. Dalam mempertegas kesan ini, sinematografer Svyatoslav Bulakovskiy menggunakan banyak rotating scene, yaitu adegan dinamis yang diambil secara 360 derajat, secara perlahan-lahan, yang membuat penonton melihat beragam aksi di dalam sebuah adegan.
Dari segi setting, “Klondike” menghadirkan kemasan wilayah perbatasan di pedesaan. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang terasa rindang. Yang ada: gersang, debu, sampai bunyi-bunyi senjata yang memenuhi keseharian Irka.
Yang saya sukai dari “Klondike,” film ini punya tokoh-tokoh utama dengan perwatakan yang keras. Irka, Tolik dan Yaryk terasa berhasil menjadi satu kondisi potret keluarga yang tidak akur akan perang. Dari segi penampilan, saya amat menyukai penampilan Cherkashyna disini. Cherkashyna berhasil hadir sebagai penguasa rumah, sekaligus mampu menghadirkan penonton akan ketegangan dan keresehannya.
Film ini dirilis di Sundance Film Festival 2022, dan berhasil memberikan penghargaan Best Director untuk Maryna Er Gorbach. Di negeri asalnya, film ini berhasil menyabet 10 nominasi Golden Dzyga, walaupun gagal mendulang satu penghargaan pun. Akan tetapinya menariknya, “Klondike” malah dipilih untuk menjadi perwakilan Ukraina untuk nominasi Best Foreign Film di Academy Awards.
Secara experience, “Klondike” terasa amat berhasil untuk menghadirkan rasa yang Ia ciptakan. Sepanjang menyaksikan film ini, saya berhasil menjadi amat tertekan, terutama dalam merasakan bagaimana keresahan Irka akan orang-orang di sekitarnya. Hal ini belum lagi ditambah dengan ketidakberdayaan Irka dan Tolik. Walaupun ini terbilang sebagai sebuah fiksi, “Klondike” terasa cukup realis. Alhasil, ini satu-satunya film yang cukup melelahkan, bukan karena buruk, namun amat membuka mata saya akan konflik perbatasan dan kekerasan yang dihadirkan memang terasa begitu tersampaikan. Bila anda butuh pengalaman menonton yang berbeda, “Klondike” terasa amat pantas untuk jadi rekomendasinya. What an experience!