Bila kembali hampir dua dekade yang lalu, permainan Tetris termasuk salah satu permainan yang saya gemari. Menata kumpulan empat kotak yang turun satu per satu, menjadi keunggulan utama permainan ini. Menariknya, semakin banyak baris terpenuhi, level semakin meningkat, termasuk kecepatan permainan. Yang tidak saya sangka, jikalau cerita dibalik ketenaran “Tetris” ternyata tak lepas dari Uni Soviet dan status perang dingin di masa itu. Kok bisa?
Kita mulai dulu dengan sejarah permainan ini. Tetris merupakan sebuah permainan yang diciptakan oleh programmer asal Rusia bernama Alexey Pajitnov, yang diperankan oleh Nikita Yefremov. Pajitnov menciptakannya di waktu setelah bekerjanya. Sehari-hari, Ia bekerja di ELORG, sebuah organisasi milik pemerintah Soviet yang mengatur ekspor impor elektronik. Menariknya, permainan Tetris ini bersifat freeware. Permainan ini dimainkan seantero Russia, namun tidak lebih dari itu.
Sebelum ke tokoh utamanya, ada seorang pembeli license bernama Robert Stein, diperankan oleh Toby Jones, yang mencari keuntungan dengan membeli lisensi permainan-permainan komputer dari Eropa Timur. Kemudian, Ia menjualnya ke pengembang konsol ataupun game. Singkat cerita, Ia tertarik dengan Tetris dan membeli lisensi dunianya.
Cerita lalu berlanjut ke akhir 1980-an, ketika seorang pengusaha game muda, Henk Rogers, yang diperankan oleh Taron Egerton, tertarik untuk membeli lisensi Tetris. Berbekal dengan pinjaman bank, Ia membeli lisensi Tetris dari Mirrorsoft untuk dijual di wilayah Jepang. Semua berkat kemampuannya untuk mengambil hati bos Nintendo, Hiroshi Yamauchi, yang diperankan oleh Togo Igawa. Akan tetapi, keinginannya berlanjut untuk menguasai lisensi handheld dan arcade dari Tetris. Nafsu besar ini membuatnya berangkat nekat ke Moskow.
Film ini disutradarai oleh Jon S. Baird, yang sebelumnya sudah dikenal melalui “Filth” dan “Stan & Ollie.” Ceritanya, ditulis oleh Noah Pink, yang juga menulis cerita seri “Genius” pada season Albert Einstein. Bicara dari segi ceritanya, saya amat menyukai bagaimana Pink mengemas “Tetris” tak hanya sebagai sebuah cerita sejarah yang biasa. Setting cerita yang mendekati kemunduran Soviet, sekaligus korupsi, persaingan kapitalis, begitu amat terasa di film ini.
Ngomongin alurnya, “Tetris” amat berhasil untuk membuat saya tidak mau kehilangan satu adegan pun. Film yang berdurasi 118 menit ini benar-benar memicu nafsu saya yang terus penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Kesan kota Moscow, dan kehidupan yang berada di dalam teror, benar-benar seakan menggambarkan kehidupan komunisme pada masanya. Belum lagi bagaimana film ini juga mengangkat spirit masyarakatnya yang ingin kebebasan. Wow!
Dari segi penokohan, saya amat menikmati bagaimana penggambaran Henk Rogers disini. Rogers dikemas sebagai seorang businessman, yang berani mengabil risiko, nekat, dan sama sekali tak punya rasa takut. Kombinasi ini menjadi semakin pas ketika cerita memasang Rogers dengan karakter Bapak-Anak Maxwell, yang merupakan pebisnis asal Inggris yang juga sama-sama kapitalis, serakah, dan licik. Kisah persaingan dalam memperebutkan lisensi inilah yang ternyata sama sekali diluar dugaan saya.
Secara penyajian, saya amat menyukai bagaimana film ini dihadirkan. Terutama, ketika adanya penggunaan visual bit dalam memulai chapter-chapter dalam film ini. Kombinasi ini seakan membuat penonton layaknya menyaksikan Henk Rogers sebagai pemain yang sedang menamatkan seri petualangan Tetris.
Begitupula dengan setting film ini. Saya menyukai bagaimana penggambaran kantor Nintendo, termasuk laboratoriumnya, sampai kehadiran Uni Soviet. Kesemuanya ini dikemas dengan sangat apik, termasuk upaya untuk menghadirkan Mikhail Gorbachev ke dalam cerita. Film “Tetris” benar-benar menjadi sebuah hal yang se-serius itu.
Dari aspek musik, yang dihadirkan Lorne Balfe, saya menyukai caranya untuk menyajikan musik bernuansa elektro dengan dentuman-dentuman cepat, yang seakan menyatu dengan cerita yang penuh teror. Nuansa 80-an juga semakin hidup di film ini, berkat menghadirkan beberapa hits jadul seperti “Holding Out for A Hero” dari Bonnie Tyler, “Heart of Glass” versi Russia dari Polina, dan “The Final Countdown” punya Europe.
Keberhasilan film ini juga dari akting para ansambelnya. Taron Egerton cukup meyakinkan sebagai pebisnis bodoh nan polos. Namun, saya menyukai penggambaran ceritanya sebagai seorang pebisnis, dan juga seorang ayah. Dari sisi pendukung, karakter antagonis yang diperankan Toby Jones, Roger Allam, dan Anthony Boyle, hadir dengan kesan yang sedikit kocak. Akan tetapi, saya menyukai kehadiran Igor Grabuzov sebagai Valentin Trifonov, yang benar-benar meyakinkan sebagai pihak pemerintah Soviet, melalui karakternya yang kejam dan dingin, sekaligus serakah.
Akhir kata, “Tetris” dikemas sebagai sajian yang amat tak terduga. Jujur, film ini amat melebihi ekspektasi saya. Film yang terbilang sebagai original film dari AppleTV+ ini terasa lebih berkesan bila membanding beberapa film biografi dari para pebisnis, sebut saja “Steve Jobs,” “The Founder,” ataupun “The Social Network.” Bravo!