Disney ternyata masih giat untuk membuat live action film-film kartun klasiknya. Entah sampai kapan. Apalagi ketika saat mendengar jika “The Little Mermaid” hadir dalam kemasan yang berbeda. Buat saya, ini terasa seperti hal yang sulit. Mengubah ingatan kita dengan sosok Ariel dengan rambut merah tajam nan bergelombang, dengan ekor duyung hijau toscanya, tiba-tiba berubah total. Tapi, apakah film ini menarik untuk ditonton?
Ariel, yang diperankan oleh Halle Bailey, merupakan salah satu putri Triton, penguasa lautan yang diperankan oleh Javier Bardem. Dalam kesehariannya di bawah laut, Ia punya sebuah kebiasaan menarik. Ia senang mengumpulkan berbagai macam barang yang ditemukan dari kapal-kapal yang tenggelam. Tak hanya sebatas rasa ingin tahu yang penuh dengan benda-benda buatan manusia, Ariel mau yang lebih. Ia ingin menjadi manusia.
Diam-diam, Ariel mengamati seorang pria bernama Eric, yang diperankan oleh Jonah Hauer-King. Eric diceritakan merupakan seorang pangeran. Seketika, pengetahuan Ariel tentang manusia yang dicap buruk, sebagaimana peristiwa yang menimpa sang Ibu dan duyung-duyung lainnya, menjadi berubah. Eric hadir sebagai sosok manusia yang sebaliknya. Malangnya, Ariel terjebak dengan bantuan Ursula, tante sekaligus penyihir laut yang diperankan Melissa McCarthy. Ia terpana untuk menjadi manusia demi bisa memenuhi keinginannya.
Film ini disutradarai oleh Rob Marshall, salah satu sutradara favorit saya yang telah dikenal melalui “Chicago,” “Nine,” sampai film Disney “Mary Poppins Return.” Kemampuan Marshall untuk mengemas musikal, kali ini hadir dengan kombinasi live action dan animation yang terasa seperti di garis tengah. Di sudut lain kita akan terasa dengan grafik yang terlihat jelas, tapi pengemasannya yang luar biasa kadang akan memalingkan kita dengan hal tersebut.
Dari segi penceritaan, David Magee, yang sebelumnya sudah berkolaborasi dengan Marshall melalui “Mary Poppins Returns” menulis kembali cerita film ini. Walaupun ceritanya cukup banyak diisi dengan segmen musikal, saya kurang terlalu menikmati bagian tengah cerita film ini. Dari segi cerita, saya merasa malah karakter pendukung seperti kepiting Sebastian, Flounder dan Scuttle, yang lebih menghidupkan cerita.
Kalau bicara penampilan ansambelnya, saya semakin paham mengapa Halle Bailey terasa pantas untuk memerankan Ariel. Sebetulnya, jika hanya mengukur dari segi suara, Bailey amat memiliki kemiripan dengan versi aslinya. Namun, jika bicara visual, saya sepakat dengan teman saya jikalau karakter “Moana” lebih cocok untuknya. Tapi, ini kembali lagi, upaya inklusi Disney yang semakin gencar memang terasa jadi eksperimen yang bakal make or break.
Kalau dari sisi penampilan pendukung, karakterisasi setiap pemain, terutama kelompok di bawah laut terasa cukup didukung visualisasi yang menawan. Saya amat menyukai kehadiran Melissa McCarthy sebagai Ursula, yang benar-benar menggemaskan. Namun, bicara kehadiran Triton yang diperankan Javier Bardem, saya merasa ada yang salah dengan penggambarannya. Walaupun Disney berupaya untuk menyajikan duyung-duyung dengan keindahan sirip ikan yang cantik nan indah, perawakan Triton yang brewokan dan perkasa seakan layu dengan ekornya yang cantik.
Dari segi musik, tentunya kehadiran “The Little Mermaid” benar-benar tidak diragukan lagi. Music yang digubah oleh Alan Menken, kembali digawangi dengan sentuhan musik yang lebih meriah dan relevan. Saya jujur lebih menyukai “Part of the World” di versi ini, walaupun cenderung lebih menyukai “Under the Sea” yang versi asli. Baiknya, momen-momen musikal ini dikemas dengan animasi yang juga memanjakan mata.
Sebagai sebuah hiburan, “The Little Mermaid” memang patut ditonton. Namun, bila menilik kembali dari ceritanya, film ini berasal dari cerita dongeng Hans Christian Andersen yang bersetting di Denmark. Hal inilah yang membuat kita yang tahu merasa film ini terasa tidak pas, walaupun disini sepertinya settingnya dibuat berasal dari Lautan Karibia.
Setidaknya, upaya Disney untuk terus melakukan kampanye mereka akan kesetaran dan inklusi terasa akan semakin berlanjut. Layaknya hidup, apa yang terasa tabu dan berhasil digeneralisasi akan berakhir dengan hal yang bisa diterima dan biasa-biasa saja. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan semudah itu kultur timur mau menerima inklusi Disney? Bagi saya, selama film-film yang diproduksi tetap menghasilkan cuan, maka kampanyenya akan terus berlanjut.