Enggak semua naskah teatrikal bisa dibawa mentah-mentah ke film. Membayangkan “Six Characters” sebagai pertunjukan teater itu mudah dan bisa dipahami. Tapi film ini lebih mirip tontonan tanpa motif yang menghambur-hamburkan aktor kawakan Thailand.
Film ini diangkat dari naskah garapan dramawan Italia, Luigi Pirandello yang berjudul Inggris “Six Characters in Search for an Author”, sebuah lakon absurd tentang sebuah set yang kedatangan enam karakter novel, Mereka kehilangan pengarang mereka dan mencari pengarang baru yang mampu mewadahi kisah mereka.
Sutradara Pundhevanop Dhewakul datang membawa tema yang asing tanpa pengantar dan aba-aba. Bila target audiensnya menyasar kepada masyarakat umum yang lebih memilih tontonan populer dan menanti Mario Maurer memerankan tokoh favorit semua orang, ia membawa kejutan yang salah. Banyak orang belum mengetahui lakon Italia tersebut, dan ada baiknya informasi ini dipampang di permulaan film–dia mungkin sudah mencoba dengan kehadiran Charlie Chaplin ala-ala di pembuka adegan, tetapi … simbol ini tidak menjelaskan apa pun.
Tidak ada yang istimewa di film ini dilihat dari segi mana pun. Termasuk drama keenam karakter yang digambarkan pedih dan menyayat hati, yang sama sekali tidak menarik simpati. Kehadiran efek suara petir hampir di tiap dialog klimaks–padahal enggak juga–meninggalkan kesan norak ketimbang lucu.
Semua yang ditampilkan serba setengah-setengah. Latar waktu mana yang diambil (awalnya saya mengira tahun 1920-an sebagaimana lakon asli diluncurkan, tapi ternyata beberapa orang mengenakan kaus), gaya akting mana yang mau dijadikan pengantar cerita (sebagian orang berdialog dengan gestur teatrikal, sebagian kasual). Sepintas, ini mengingatkan pada gaya film “Anna Karenina”-nya Joe Wright, tapi ternyata tidak.
Seiring berjalannya cerita, lambat-laun penonton akan dibuat paham ke mana arah alur. Dari sekian aspek yang kurang, satu nilai positif untuk film ini adalah sindiran yang relevan untuk media maupun industri film. Keenam karakter hadir mewakili ‘kebenaran’ yang kemudian diwujudkan dalam cerita berbeda ketika kisah keenam tokoh mulai dilakonkan. Cerita yang dibuat demi keuntungan sebagian pihak.
Akan tetapi, meskipun film ini hambar, cerita berbingkai dalam film ini masih menyimpan terjal-landai alur yang diperlukan. Palet warna, tata rias, dan busana dalam film juga lumayan heboh untuk bisa dianggap sebagai distraksi yang bagus, sehingga masih sanggup mempertahankan penonton untuk menikmati sampai selesai.
“Six Characters” sebetulnya bukan naskah yang buruk-buruk amat untuk dijadikan film, terbukti beberapa generasi dari negara berbeda telah mencobanya. Seperti adaptasi Kenneth Frankel tahun 1976 yang tanpa musik sepanjang film. Versi ini mungkin lebih membosankan karena semua terkesan tiba-tiba dan sepi, tapi film ini datang dengan konsep yang lebih solid. Tiap potongan dibuat sedekat mungkin dengan realitas situasi di balik layar yang kasual dan jauh dari dramatis. Sehingga penonton akan segera tahu bahwa keenam karakter yang hadir adalah anomali belaka.
Mungkin film “Six Characters” Thailand ini akan lebih menarik kalau ditampilkan bersama konsep yang telah genap dengan gaya teatrikal nyentrik yang terasa cocok dengan absurditas naskah tersebut. Bukannya malah setengah-setengah dan jadi membingungkan.