Saat ini, isu mengenai penyakit mental jadi topik yang sangat diperhatikan oleh anak-anak muda zaman now. Mirisnya, orang-orang justru berlomba-lomba untuk mencari validasi atas penyakit mental mereka berbekal analisa internet yang tidak pasti. Hal ini menjadi bukti bahwa tingginya kesadaran akan penyakit mental, belum dibarengi dengan literasi yang baik mengenai pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat. Melalui film “The Year Between” kita akan diperlihatkan masalah yang dihadapi seorang penyintas gangguan mental yang diambil dari kisah nyata.
Film ini berkisah tentang Clemence, diperankan oleh Alex Heller, seorang remaja sarkastik yang punya perilaku impulsif yang cukup mengganggu. Saking mengganggunya, Clemence atau dipanggil ‘Clem’ ini, sampai membuat teman sekamarnya ketakutan. Clem kemudian dikeluarkan dari kampusnya dan kembali tinggal di kampung halamannya. Sadar dengan perilaku impulsif anaknya, sang Ibu, diperankan oleh J. Smith-Cameron, membawa Clem ke psikiater. Ternyata, Clem didiagnosa mengidap gangguan bipolar dan harus rutin meminum obat dan menjalani terapi. Clem pun berusaha untuk melanjutkan hidupnya sambil berhadapan dengan penyakit mental yang Ia derita.
“The Year Between” punya kisah yang menarik dibalik pembuatannya. Film ini adalah sebuah autobiografi yang ditulis, disutradarai, dan diperankan langsung oleh Alex Heller, berdasarkan pengalaman hidup beliau berjuang dengan penyakit mental. Saat usia 19 tahun, Alex, sang sutradara harus di drop out dari kampusnya dan didiagnosa mengidap gangguan bipolar. Sambil berjuang menghadapi penyakitnya, Alex berusaha untuk menuangkan perasaan-perasaan yang dihadapinya ke dalam naskah film ini. Oleh karena itu, saat menonton film ini, saya dapat merasakan cerita di dalamnya begitu terasa personal.
Sebagai sebuah debut film panjang, Alex Heller banyak diapresiasi sebagai sosok yang multi talenta. Bayangkan saja, betapa ribetnya harus men-direct sekaligus berperan dalam film yang dibuat. Selain itu, kesulitan lain adalah membedakan karakter personal dengan karakter yang dimainkan karena seperti yang kita tahu bahwa cerita di film ini berdasarkan pengalaman hidup Alex. Namun, Alex berperan cukup meyakinkan di film ini.
Secara penceritaan, film ini merupakan character driven dimana fokus cerita berpusat pada karakter utama dan perubahan internalnya. Kita diajak untuk memikirkan perilaku, pikiran, tindakan, perasaan, dan perubahaan yang terjadi pada karakter Clem. Menurut saya, ada bagian yang cukup disayangkan saat Clem yang sudah mulai membaik justru kembali berulah. Saya yang mulai bersimpati terhadap karakternya menjadi gagal bersimpati. Hal ini menyebabkan endingnya terasa kurang menyenangkan.
Namun secara keseluruhan film ini masih cukup menyenangkan untuk ditonton karena film ini dikemas dengan cukup unik. Alex Heller menggunakan pendekatan komedi dalam mengeksekusi ceritanya. Ia menggambarkan karakter Clem sebagai sosok yang cukup menyebalkan. Omongannya terkadang nyelekit dan tingkahnya kadang tidak sopan. Karakternya sedikit mengingatkan saya dengan karakter Christine McPherson di film “Lady Bird” yang diperankan oleh Saoirse Ronan. Karakter mereka sama-sama disajikan apa adanya secara blak-blakan. Secara psikologis, sebenarnya ini adalah salah satu coping mechanism yang dilakukan oleh mereka ketika berada di situasi sulit untuk mengontrol emosinya.
Mencari film yang benar-benar mengangkat isu mengenai penyakit mental menurut saya masih cukup sulit. Terkadang, isu mengenai penyakit mental hanya dijadikan sebagai background karakter belaka. Pengemasannya pun terkadang dibuat terlalu serius dan depresif. Namun, “The Year Between” menawarkan cerita yang yang lebih ringan tanpa menyepelekan.
Film ini juga sedikit menyinggung soal toxic positivity. Kita tahu bahwa kehidupan kita juga akan mempengaruhi orang-orang disekitar kita. Salah satunya adalah keluarga. Bukan hanya Clem yang mencoba beradaptasi dengan keadaannya, tetapi juga keluarganya. Masing-masing anggota keluarga Clem memiliki pandangan yang berbeda dalam merespon keadaannya.
Sang Ibu dapat dikatakan cukup suportif dalam mendukung Clem. Ia tidak mencela perbuatannya. Sedangkan sang Ayah, diperankan oleh Steve Buscemi, terkadang mengucap kata-kata motivasi yang sebenarnya tidak diperlukan. Ada salah satu adegan yang saya suka saat sang Ayah mengatakan bahwa “You are a winners and always welcome here”, sang Ibu kemudian menimpal bahwa “Don’t say that. Its isn’t true”. Sang Ibu paham bahwa toxic positivity just a bullshit. Adik-adik Clem, yang diperankan oleh Emily Robinson dan Wyatt Oleff, juga awalnya skeptis terhadap Clem sehingga interaksi diantara mereka cukup buruk. Namun seiring berjalannya cerita, mereka dapat menemukan cara mereka sendiri untuk bersama.
“The Year Between” adalah sebuah film jujur yang menawarkan pengalaman soal hidup sebagai seorang pengidap penyakit mental. Film ini banyak memberi kita wawasan tentang kemungkinan cara menghadapi dan mengobati penyakit mental tersebut. Dan bagaimana dukungan keluarga sangat penting dalam mendukung perkembangannya. Akhir kata, film ini cukup fresh dan heart-warming.