Ketika masih kecil, salah satu doktrin yang hinggap di otak mungil saat di gereja adalah: setan itu tidak ada. Seiring besar, apalagi semenjak menyaksikan “The Exorcist,” saya mulai memahami eksistensi entitas ini. Saya percaya, jika Gereja Katolik Roma saja sampai punya divisi khusus untuk exorcism, tentu hal ini bukan sebuah dongeng belaka. Kali ini, melalui “The Pope’s Exorcist,” penonton akan diajak ke sepotong bagian pengalaman Pastor Gabriele Amorth, si pemimpin divisi exorcism Gereja Katolik Roma.
Gabriele Amorth, diperankan oleh Russell Crowe, merupakan seorang pastor, sekaligus exorcist, istilah sebutan bagi orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melakukan pengusiran setan. Di awal cerita, Amorth akan membawa penonton dalam melakukan pengusiran iblis jahat dari seorang laki-laki. Melalui dialog yang mengintimidasi, Ia berhasil memindahkan si iblis ke dalam babi hitam yang telah disiapkan sebelumnya.
Akan tetapi, ini bukan pusat dari cerita “The Pope’s Exorcist.” Perjalanan Pastor Amorth baru benar-benar telrihat luar biasa ketika tiba-tiba Ia dipanggil oleh Sri Paus John Paul II, yang diperankan oleh Franco Nero. Paus menugaskan Amorth untuk pergi ke Castille, mengunjungi salah satu Biara disana. Pada biara terdapat sebuah kasus yang dulu pernah mengguncangkan Vatikan. Pada saat itu, biara tersebut sedang mendapat renovasi yang sedang dilakukan pemiliknya, Julie, yang diperankan oleh Alex Essoe.
Ceritanya, biara ini merupakan warisan sepeninggal suami Julie setahun yang lalu. Ia pun memboyong kedua anaknya, Amy dan Henry, yang diperankan oleh Laurel Marsden dan Peter DeSouza-Feighoney. Akan tetapi, biara yang menjadi warisan mereka seakan tidak menerima mereka masuk. Henry yang sudah 1 tahun tidak berbicara semenjak kecelakaan yang penah terjadi, tiba-tiba dirasuki iblis jahat.
Pastor setempat, Pastor Esquibel, yang diperankan oleh Daniel Zovatto, ternyata tidak mampu untuk menangani kondisi Henry. Iblis yang merasuk bergumam untuk membawa pendeta yang dapat menantangnya. Tak lama, kasus ini mendapat perhatian Vatikan, hingga Amorth yang diutus langsung Sri Paus untuk mengungkap kasus yang sempat memberi keresahan bagi Vatikan.
Sebetulnya, saya cukup terjual dengan apa yang ditawarkan “The Pope’s Exorcist” melalui trailernya. Belum lagi, ini ditambah dengan cerita based on true story yang semakin menegaskan jika film ini kudu ditonton. Semenjak menyaksikan “The Exorcist,” tentunya ekspektasi melihat adegan kerasukan dan tubuh yang bergerak ke berbagai arah sudah menjadi titik minimal yang perlu dihadirkan film ini.
Baiknya, film ini sejalan dengan ekspektasi saya. Saya amat menikmati akting Russell Crowe sebagai Pastor Amorth yang sebetulnya luwes, dan engga serius-serius amat. Walaupun demikian, saya juga menyukai bagaimana Amorth menggambarkan kesetiannya akan imannya, terlepas dengan rayuan dan ucapan si iblis yang menjatuhkan.
Dari sisi penggarapan, setting yang dihadirkan memang terbilang standar creepy. Adegan-adegan jump scare juga seperti biasa dibangun untuk menghidupkan kondisi menakutkan, walaupun sebetulnya film ini tidak terlalu seseram yang saya bayangkan. Yang saya sukai di film ini adalah penggambaran Vatikan, upaya bagaimana film ini melakukan interpretasi pada bagian-bagian Vatikan yang tidak terlihat dengan mudah oleh publik.
Secara keseluruhan, film ini cukup entertaining buat saya, yang masih tergolong okelah. Setidaknya, “The Pope’s Exorcist” semakin memancing rasa ingin tahu saya untuk membaca buku-buku Pastor Amorth. Seperti yang Ia ungkap juga di film ini: “The books is good.”