Perkembangan film yang telah lebih dari satu dekade memperlihatkan bagaimana medium ini sudah menjadi bagian dari hidup manusia. Ia tidak hanya sekedar menjadi bagian dari seni, ataupun hiburan. Melalui sebuah sajian dokumenter berjudul “Film The Living Record of Our Memory,” penonton akan diajak untuk kembali melihat hal yang kadang terlupakan, jikalau film juga punya batas masa hidupnya.
Apa yang saya maksud pada kata ‘film’ disini bermakna dua, sebagaimana mestinya. Pertama, sebagai gambar bergerak, yang kadang lazim membuat kita teringat dengan istilah 24 fps (frames per second). Kedua, adalah sebagai medium yang berisi kumpulan gambar, yang seringkali dibuat dengan menggunakan material seperti nitrat.
Ngomongin tentang Nitrat, yang juga merupakan bagaimana salah satu awal narasi film ini, merupakan bahan yang paling lazim dipakai oleh Hollywood, semenjak periode 1950-an. Bagaimana tidak, nitrat membantu film untuk memberikan kekayaan warna yang amat dibutuhkan bagi film-film non-digital. Akan tetapi, yang jadi masalah disini, nitrat merupakan material yang amat flammable. Terbukti, beberapa kasus kebakaran hebat, seperti kebakaran yang menimpa Fox Studios di tahun 1937, ataupun kebakaran Lab Henderson di tahun 1993, tak lepas dari highlight film ini.
Tak hanya masalah, film ini mengumbar bagaimana menjaga keberadaan film-film ini termasuk penting. Seperti masalah kebakaran Lab Henderson di tahun 1993, yang hampir saja akan menghanguskan karya terbaik sutradara kenamaan asal India, Satyajit Ray, yang tahun itu juga baru saja mendapatkan Honorary Awards di Academy Awards. Karya terbaik Ray yang berjudul ‘Apu Trilogy’ berhasil dievakuasi, walaupun mendapatkan banyak kerusakan hebat. Alhasil, berkat bukti film yang disimpan, kini mampu direstorasi kembali dan disaksikan melalui distribusi Criterion, yang telah rilis beberapa tahun silam.
Tak hanya Ray. Film ini juga membahas bagaimana peran penting para tokoh-tokoh penyelamat ini. Hebatnya, film ini akan membahas bagaimana perkembangan film archives pada beberapa negara, termasuk pada benua Eropa, Amerika, Asia, sampai Afrika. Semuanya dibahas dari bagaimana tantangan yang terjadi. Misalnya, bagaimana negara-negara tropis, seperti India dan Thailand, yang memiliki tantangan untuk menjaga film atas kelembapan dan suhu.
Ada begitu banyak hal yang menarik dari “Film The Living Record of Our Memory.” Salah satu yang berkesan lainnya adalah seperti bagaimana Louis Langlois, tokoh perfilman Perancis, berupaya untuk menyelamatkan film-film F.W. Murnau dari Jerman, yang sinematek-nya dimusnahkan pasca perang. Tak hanya itu, kondisi perang keberadaan Perang Dunia juga mengancam hilangnya karya-karya penting ini. Kita akan melihat bagaimana arus penyelamatan ini terjadi.
“Film The Living Record of Our Memory” juga akan kembali mengingatkan Anda pada definisi film itu sendiri. Film ini tidak hanya akan membahas sebatas featured film, ataupun rasa ‘Hollywood’ melulu. Film ini juga menyoroti seperti bagaimana upaya penyelamatan news, commercial, short, home videos, sport, sampai experimental film. Segala aspek ini secara komprehensif dikemas dan dibahas satu per satu, yang membuatnya tidak ada yang menjadi warga kelas kedua.
Semua berkat komprehensif penyajian sutradara Ines Toharia Teran pada film ini. Ia mengumpulkan begitu banyak rekaman, termasuk wawancara dengan banyak pelaku industri. Mulai dari sutradara-sutradara besar seperti Costa-Gavras, Wim Wenders ataupun Ken Loach, sampai pada pemimpin arsip-arsip film dari beragam negara. Ini belum lagi bagaimana film ini menyajikan ceritanya tidak melalui narasi kritis, namun melalui jahitan monolog yang saling berkaitan. Sebuah usaha yang tidak mudah.
Salah satu yang ingin saya soroti disini adalah ketika film ini menyoroti film “Mother Dao” buatan seorang Belanda, Vincent Monnikendam, yang mengemas potongan-potongan rekaman saat penjajahan kolonial Belanda di Hindia Belanda ke dalam tontonan 90 menit. Film ini mampu menyulap saya untuk mencari tahu lebih banyak film ini.
Setelah berbicara banyak tentang film dalam definisi kedua, “Film The Living Record of Our Memory” juga membahas tantangan yang akan terjadi di masa digital ini. Memang sih, kita akan terpikir atau beranggapan remeh bahwa sekarang sudah terbilang mudah dalam menyimpan film. Akan tetapi, apakah Anda pernah terpikir bahwa media seperti DVD ataupun flash disk dan hard drive saat ini juga memiliki umur masa penyimpanan? Semua ini tidak lepas dari pengamatan film ini.
Bagi saya, apa yang dikemas “Film The Living Record of Our Memory” merupakan sebuah tontonan padat, komprehensif, yang edukatif sekaligus menjadi alarm bagi kita semua. Keberadaan film yang berangkat sebagai rekaman eksistensi ternyata tidak hanya sekedar perlu di recovery, tetapi juga dilestarikan. Tontonan membuka mata yang wajib bagi para pecinta film! A must watch!