Simbol kekacauan dan malapetaka, begitulah Babilonia sebagaimana tertulis dalam “the Book of Revelation” chapter terakhir dalam Bible. Babilonia yang mana adalah sebuah ibu kota dalam kekaisaran Mesopotamia kuno, digambarkan sebagai pusat kejayaan akan perkembangan seni, budaya, dan teknologi dimasanya. Perlahan, kota ini terlarut dalam kemegahan dan ketamakan, yang menggiringnya ke dalam lautan malapetaka sekaligus keruntuhan masa kejayaannya.
Kisah ini adalah sebuah metafora yang Damien Chazelle ceritakan dalam karya terbarunya yaitu “Babylon,” yaitu sebuah petualangan glamor kejayaan industri Hollywood yang menjadi awal dari keruntuhannya. Ini adalah sebuah siratan kebencian terhadap industri kelam Hollywood sekaligus surat cinta Chazelle terhadap sinema.
Didalam era modern industri perfilman saat ini siapa yang masih meragukan kemampuan Damien Chazelle dalam karya-karyanya yang fenomenal dan berkualitas. Ia merupakan salah satu sutradara muda paling berbakat yang dimiliki dunia perfilman saat ini. Walaupun dengan filmografi yang masih dibilang tidak banyak, Chazelle mampu memberikan kualitas yang total dalam setiap film yang digarapnya. Hal ini kembali dipersembahkan dalam karya teranyarnya yaitu, “Babylon,” lewat sebuah cerita yang begitu megah, liar, dan ambisius. Cerita ini menceritakan tentang masa kejayaan dan jatuh bangunnya Hollywood pada periode 1920-1930-an.
Konflik utama dalam “Babylon” membahas periode transisi antara era film bisu dan era film suara, yang terfokus pada 3 karakter utama. Pertama, ada Nellie LaRoy seorang aktris wanna be yang rela melakukan apa saja demi menjadi aktris terkenal yang diperankan oleh Margot Robbie. Juga ada Manuel ‘Manny’ Torres, seorang buruh pesta yang bercita-cita terjun kedalam industri perfilman, yang diperankan oleh aktor pendatang baru yaitu Diego Calva. Terakhir, ada Jack Conrad seorang aktor film bisu papan atas yang diperankan Brad Pitt.
Selain 3 aktor utama tersebut, Chazelle juga menggaet beberapa ensemble cast pendukung yang tidak disangka-sangka. Mulai dari aktris Jean Smart, Olivia Wilde, Samara Weaving, aktor Tobey Maguire, sutradara Spike Jonze, Flea Red Hot Chili Peppers, hingga istrinya sendiri yaitu Anna Chazelle.
“Babylon” adalah sebuah bentuk eksperimental liar yang Chazelle sudah kerjakan selama 15 tahun lamanya. Ini adalah sebuah visi jangka panjang yang akhirnya terwujud, yang menunjukan betapa cintanya Chazelle terhadap sinema, sekaligus juga sebagai hadiah spesial tbagi para penggiat dan pecinta film juga seluruh pekerja kreatif diseluruh dunia, dengan menghadirkan sajian yang sangat fresh setelah sekian waktu disajikan film-film blockbuster yang cukup membosankan.
3 jam durasi penayangan “Babylon” terasa begitu memaku mata, telinga, dan pikiran. Film ini berisikan gemerlap visual memukau dan musik yang menggelegar tiada henti, diiringi cerita perjalanan Nellie, Manny, dan Jack yang tidak bisa dilewati begitu saja.
Berbagai Director’s Trademark dari Damien Chazelle tentunya kembali diberikan dalam film ini. Seperti banyaknya penggunaan establishing shot yang cantik, banyaknya variasi camera movement yang tidak akan penonton sangka sangka akan digunakan, teknik pencahayaan yang cerdas seperti biasanya, teknik whip pan yang menjadi ciri khas Chazelle, penggunaan timestamp untuk menunjukan latar waktu sekaligus penanda setiap babak dalam cerita, dan color grading yang sangat memanjakan mata. Semua itu sangatlah memuaskan terutama bagi para fans Chazelle.
Hal yang kali ini berbeda adalah bagaimana Chazelle menulis cerita “Babylon”, lewat alur linear dengan konflik yang tiada habis didalam setiap babaknya. Ini ditambah pencampuran berbagai genre mulai dari drama, romance, komedi, action, bahkan horror, yang semuanya diatur dengan porsi yang pas dan tidak terasa dipaksakan. Poin-poin tersebut merupakan hal yang sangat baru didalam karyanya, yang membuat film ini terasa begitu padat, kompleks, dan juga detail.
Setiap cerita karakter di dalam film ini juga benar-benar tersampaikan hingga tuntas. Mulai dari pendekatan karakter, konflik antar karakter maupun konflik individu karakter, hingga bagaimana Chazelle mengakhiri masing-masing cerita untuk tiap karakter tersebut.
Hal lain yang berbeda pada karyanya, Chazelle terasa begitu total dan ambisius dalam eksekusi film. Ini terlihat dari bagaimana Chazelle berani mengangkat sisi keji dibalik industri Hollywood, mulai dari pesta pora yang begitu liar ditontonkan, penggunaan narkoba, rasisme, misoginis, politik gelap para petinggi industri, sampai hal-hal buruk yang terjadi dibalik layar untuk mencapai suatu kesuksesan film. Hal-hal gelap dan sanga riskan inilah yang membuat penonton tidak akan menyangka dari berani ditampilkan dari seorang sutradara muda berumur 38 tahun.
Latar tempat dan waktu Los Angeles era 1920an yang digambarkan dalam film ini, dikemas dalam bentuk yang sangat cerdas. Production design yang realistis dan megah membuatnya terasa begitu akurat. Hal ini ditambah lewat eksekusi teknis ala modern, yang seakan membawa kembali sejarah dengan cara yang begitu hidup. Membuat penonton seperti memasuki riuh pikuk Los Angeles pada masa itu, dan menyimpulkan bahwa proses riset dalam produksi film ini begitu rinci dan tidaklah main-main.
Jika membahas karya Damien Chazelle, kita tidak akan pernah lepas dari musik. Rangkaian sound design dan musik dalam “Babylon” terasa seperti sirkus dan rollercoaster, seakan memasuki perjalanan elegi melodi yang menggebu, liar, namun memberikan kesenangan yang mendalam. Ibarat Christopher Nolan dan Hans Zimmer, Steven Spielberg dan John Williams, karya-karya Damien Chazelle selalu didampingi dengan karya musikal Justin Hurwitz, seperti halnya dalam karya terdahulunya melalui “La La Land” dan “Whiplash.”
Hurwitz kembali menggunakan genre Jazz yang sangat on point, namun kali ini musik dan score yang digarapnya dibuat lebih agresif, melalui instrumental jazz era 20-30-an yang identik dengan penggunaan saksofon dan terompet yang cukup repetitif, yang dipadukan dengan sedikit nuansa musik rock and roll dan juga musik modern dance. Hal ini menjadikannya sebagai sebuah karya musikal yang begitu rumit namun sangat memuaskan ketika disatukan.
Para pecinta kolaborasi antara Chazelle dan Justin juga akan dibawa bernostalgia dalam film ini karena Hurwitz memasukan beberapa reference dan hint terhadap musik-musiknya yang digunakan dalam “La La Land” dan “Whiplash.” What a truly immersive music in cinema experience.
Tentunya proyek ambisius yang penuh hal baru bagi Damien Chazelle ini tidak luput dari kekurangan. Ada beberapa sub-plot yang terasa sedikit keluar arah, seperti scene yang tidak perlu untuk dimasukan yang mana karena tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap keseluruhan cerita. Begitu juga beberapa scene yang memang perlu untuk dimasukan, namun sengaja dipanjangkan durasinya. Justru ini membuat scene-scene tersebut terasa sangat bertele-tele. Akan tetapi, kekurang-kekurangan ini itu dapat diwajarkan mengingat “Babylon” adalah karya Chazelle yang terasa sangat unusual.
Akhir kata, “Babylon” memang bukanlah tipe film yang dapat dinikmati oleh semua orang. Diluar kontroversinya yang tertuai di kalangan para kritikus, film ini sukses menyampaikan pesan cinta dari seluruh pecinta sinema all over the world kepada sinema itu sendiri. Pembahasan mulai dari sejarah, susah payah, kejayaan, hingga keruntuhan sinema menjadi terobosan dan awal dari kejayaan industri perfilman era modern hingga saat ini. Semuanya ini terkupas dan merupakan salah satu bagian terbaik dari keseluruhan “Babylon.” Sekali lagi, Damien Chazelle menghadiahkan kita dengan one of the greatest ending in cinema known to man.
In overall, apa yang membuat pesan dibalik film ini semakin menarik adalah penghormatan terus-menerus terhadap pembuatan film di tengah kekacauannya. Baik di masa itu maupun masa kini, yang secara tidak langsung menyampaikan bahwa sinema adalah sebuah seni kelas tinggi yang tidak bisa disepelekan. Seluruh karakter dalam “Babylon” dibuat sedemikian rupa untuk sangat menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, sesuatu yang amat penting dalam sejarah kesenian dunia yaitu Sinema.