Mengangkat cerita pribadi ke dalam film sudah bukan hal tak lazim. Sebut saja seperti “Amarcord” yang menceritakan kisah-kisah masa kecil Federico Fellini, ataupun “The Squid and The Whale” yang merupakan pengalaman pribadi orangtua Noah Baumbach. Kali ini, Steven Spielberg mengemas cerita yang terinspirasi dari kisah awal hidupnya lewat keluarga fiksi “The Fabelmans.”
Suatu ketika, di tahun 1952, keluarga Fabelmans mengunjungi bioksop di kota mereka. Ini merupakan suatu kebiasaan keluarga Yahudi ini di penghujung minggu. Kali itu, mereka menyaksikan “The Greatest Show on Earth,” sebuah film karya Cecil B. DeMille, yang juga merupakan film terbaik di Oscars pada tahun itu. Sepulang dari sana, anak laki-laki mereka yang bernama Sammy, yang diperankan oleh Mateo Zoryan, menjadi overthinking. Ia resah untuk membuat reka adegan dari salah satu adegan tabrakan kereta api yang dilihatnya.
Awalnya, sang Ayah, Burt, yang diperankan oleh Paul Dano, membelikan Ia sebuah set mainan kereta uap. Akan tetapi, sang Ibu, Mitzi, yang diperankan oleh Michelle Williams, memahami maksud anaknya. Ia pun diam-diam meminjamkan kamera milik suaminya agar dapat digunakan Sammy. Ternyata, tindakan ini malah membuat Sammy amat terobsesi dengan film.
Kecintaan ini berlanjut. Sammy remaja, yang diperankan oleh Gabriel LaBelle, mulai semakin mengekplorasi dunia filmmaking. Misalnya seperti ketika Ia mengajak rekan-rekan pramukanya untuk mengumpulkan kalajengking, yang uang digunakan untuk membeli film kosong. Ia pun menggawangi saudari-saudarinya, serta teman sebayanya yang banyak, untuk menjadi aktor sekaligus crew pada film amatir buatannya. Sammy pun belum berhenti disitu, ada serangkaian peristiwa yang akan dilaluinya yang juga berkaitan dengan film.
Rasanya, saya menilai “The Fabelmans” merupakan sebuah semiautobiografi yang ambisius. Tak tanggung-tanggung, durasinya sampai sepanjang dua setengah jam lebih. Dari sisi cerita, Ia melibatkan Tony Kushner, penulis yang selalu berkolaborasi dengan Spielberg. Sebut saja “Munich,” “Lincoln,” sampai yang terakhir “West Side Story.” Walaupun terasa lumayan panjang, saya belum mencapai titik bosan saat menyaksikannya.
Dari segi penyajian, tentu Spielberg sudah dikenal amat ahli kalau urusan storytelling akan hal-hal yang berbau scifi. Film ini termasuk salah satu yang terbaik di tahun 2022. Akan tetapi, untuk urusan drama, “The Fabelmans” tergolong sebagai salah satu drama buatannya yang bersifat a complete package, walaupun saya agak kurang yakin kalau ini nantinya bisa seberkesan ala “Amarcord,” misalnya.
Dari sisi ensemble, saya rasa sudah biasa buat Spielberg untuk mengusung aktor-aktor muda, misalnya ketika Jeremy Irvine di film “War Horse.” Disini, saya amat menyukai penampilan Gabriel LaBelle dan Mateo Zoryan. Walaupun keduanya tidak memperlihatkan akting untuk Oscars nanti, setidaknya saya menantikan projek berikutnya dari keduanya. Yang paling menunjukkan konsistensinya disini adalah Michelle Williams dan Paul Dano. Saya amat menyukai penampilan keduanya disini. Saya rasa keduanya mungkin patut mendapat nominasi untuk Best Actor and Actress in Supporting Role.
Secara teknis, ini adalah sebuah penggarapan yang amat apik. Mulai dari cinematography, pemilihan color tone yang mengingatkan kita dengan film-film buatan periode 60-an, sampai production design yang terasa amat matang. Maklum, cinematography film ini digawangi Janusz Kaminski, yang juga kolaborator langganan Spielberg. Terakhir, musik. Sekali lagi, John Williams akan memukau kita dengan score, yang saya amat yakin mendapat nominasi Oscars mendatang.
Secara keseluruhan, “The Fabelmans” akan menjadi salah satu contender kuat di awards season ini. Mungkin tidak akan menang banyak, tapi possibly dapat berpotensi mendulang banyak nominasi. Buat saya, jika Anda ingin mengetahui cerita background Steven Spielberg, ketimbang membacanya di halaman Wiki, “The Fabelmans” cukup akan mewakilinya, walaupun sudah dicampur sedikit fiksi. Another great movie for and about movies.