Benoit Blanc is back! Kali ini, Netflix menyuguhkan misteri lain dari “Knives Out” dengan judul “Glass Onion.” Sutradara dan penulis Rian Johnson kembali untuk membawa penonton ke dalam cerita detektif modern, yang dipenuhi beragam karakter misterius serta intrik-intrik yang tak terduga.
Benoit Blanc, yang diperankan oleh Daniel Craig, merasa sedang gagal. Ia hanya menghabiskan waktunya berendam, sambil bermain game ‘Among Us’ bersama para detektif yang lain. Ia merasa butuh suatu tantangan, suatu kasus baru. Tiba-tiba, seseorang mengunjungi apartemennya yang memberikan adanya sebuah undangan untuk permainan pemecahan kasus suatu pembunuhan.
Ia pun mengunjungi Yunani, di sebuah dermaga, sambil menunggu para pemain yang lain. Satu per satu pun datang. Ada sang scientist bernama Lionel Toussaint, yang kini mengendalikan salah satu perusahaan teknologi canggih. Juga ada Gubernur perempuan Claire Debella, yang diperankan oleh Kathryn Hahn.
Penumpang yang lain, Birdie Jay, yang diperankan oleh Kate Hudson, datang bersama asisten loyalnya, Peg, yang diperankan oleh Jessica Henwick. Ada juga yang datang bersama kekasihnya. Salah seorang influencer ternama, Duke Cody, yang diperankan oleh Dave Bautista, datang bersama Whiskey, yang diperankan Madelyn Cine. Terakhir, mereka semua dikejutkan ketika karakter Andi Brand, yang diperankan oleh Janelle Monae, hadir.
Tak lama, mereka kemudian dijemput oleh sebuah kapal yang membawa mereka ke dalam pulau pribadi milik Miles Bron, yang diperankan oleh Edward Norton. Miles ternyata punya kesengajaan untuk mengundang semuanya. Ia sudah menyiapkan teka-teki akan perisitwa pembunuhannya yang diekspektasi dapat diselesaikan selama seminggu disana. Blanc pun hadir sebagai outsider pada permainan pertemanan tersebut.
Membahas ceritanya, film ini sudah dibuka dengan kemasan yang menarik. Saya amat menikmati bagaimana “Glass Onion” memancing penonton lewat misteri dari boks yang dikirim Miles kepada teman-temannya. Boks yang terdiri dari rentetan teka-teki ini ternyata dimanfaatkan juga dengan menghadirkan beberapa cameo, sebut saja Yo-Yo Ma. Sayangnya, excitement ini terasa begitu singkat mengingat teka-teki yang diperlihatkan selesai dengan begitu cepat.
Ketika babak sudah masuk ke dalam aktivitas di Glass Onion, cerita yang dikemas Rian Johnson ini mengalir dengan paduan komedi di dalam ceritanya. Salah satunya seperti ciri khas Blanc yang realistis, sekaligus kadang terlihat bodoh. Cuma yang saya sukai dari franchise ini adalah bagaimana konsistensi yang dibangun. Johnson menghadirkan banyak karakter, yang semuanya punya motif masing-masing, yang membuat penonton akan terus menerka siapa yang jadi biang keroknya.
Baiknya, “Glass Onion” jadi film bertabur bintang yang amat menarik untuk disimak. Tentunya ini lebih seru ketimbang remake film-film Agatha Christie, yang juga menggunakan banyak karakter dan bertabur bintang, seperti “Murder on the Orient Express,” tapi berjalan membosankan. Dari segi ensemble cast-nya, saya masih menyukai komposisi film pendahulunya, walaupun sebetulnya masih terbilang dieksekusi dengan baik penampilannya. Saya amat menikmati dinamika karakter disini. Ada yang playful, glamour, serakah, misterius, sampai serius, semuanya bercampur dari satu.
Secara teknikal, “Glass Onion” juga terbilang unggul. Misalnya dari eksekusi cerita, yang terbukti tidak membuat saya bosan selama 130 menit. Begitupula dengan production design yang menyajikan potret rumah modern para borjuis, termasuk lukisan Monalisa dan layar virtual interaktif yang menghadirkan Serena Williams untuk berlatih workout. Editing di dalam film ini juga terbilang rapi, terutama bagaimana plot cerita yang memiliki alur rollback bisa dikemas dengan baik.
Alhasil, film ini membuat saya menjadi semakin yakin jika franchise ‘Knives Out’ mungkin akan terus dilanjutkan. Saya amat berharap Rian Johnson dapat tetap konsisten dalam membawa penonton ke dalam perjalanan Benoit Blanc untuk memecahkan kasus-kasus lainnya. Akhir kata, “Glass Onion” terbilang salah satu sajian akhir tahun yang epic dari Netflix!