Berangkat dari rasa penasaran, “Aftersun” telah mengisi banyak ekspektasi saya dari salah satu sajian A24 untuk musim kali ini. Alhasil, penonton akan diajak untuk bernostalgia, dari sebuah acara liburan ayah dan anak di Turki.
Sophie, diperankan oleh Frankie Corio, merupakan remaja berusia 11 tahun yang berlibur dengan sang ayah, Calum, yang diperankan oleh Paul Mescal. Seiring dengan ketidakhadiran sosok Ibu, ternyata kedua orang tua Sophie telah berpisah. Dalam kesempatan bertemu dengan ayahnya, keduanya pun merekam perjalanan mereka seiring diulang kembali nantinya oleh Sophie dewasa, yang diperankan oleh Celia Rowlson-Hall.
Film ini merupakatan featured debut Charlotte Wells, sutradara asal Skotlandia. Cerita “Aftersun” terfokus pada setting 90-an, yang nantinya akan mengingatkan anda dengan tren kacamata hitam, ataupun lagu ‘Makarena’ yang amat populer itu. Film yang berdurasi 110 menit ini sebetulnya bukanlah sebuah film untuk semua. Mengapa? Sebab Anda perlu cukup sensitif untuk merasakan drama yang dibawakan dengan cukup pelan dan sedikit ambigu.
Sebetulnya, this is not cup of my tea. “Aftersun” dari segi cerita, kurang berhasil untuk memikat saya, terlepas dari kesan cerita yang menurut saya biasa-biasa saja. Akan tetapi, dari segi penyajian, saya amat menyukai bagaimana Wells mengemas film ini sebagai sebuah visualisasi yang amat artistik. Penonton akan dihadirkan layaknya pengamat yang berangkat dari point of view Sophie dewasa.
Juga, film ini memang tidak terlalu menawarkan keindahan Turki layaknya sebagai sebuah film liburan. Tidak sama sekali. Tentunya tidak seperti film-film lokal kita yang cukup menjual destinasinya, misalnya seperti “Ali & Ratu Ratu Queens, ”“Eiffel.. I’m In Love 2” ataupun film-film dengan nama kota lainnya. Disini, pengemasan artistik terlihat dari bagaimana cara Wells untuk mengombinasikan sajian baik dari gabungan rekaman DVR, perasaan saya kita melihat dalam keadaan menutup mata, sampai memanfaatkan pantulan kaca.
Dari sisi akting, saya amat mengagumi penampilan Paul Mescal dan Frankie Corio. Keduanya mampu menghidupkan chemistry yang terasa begitu amat natural. Terutama Paul, penonton seakan menyaksikan dua karakter yang berbeda. Di sisi lain, Corio memperlihatkan kehadiran mentalitas anak 11 tahun dengan banyak rasa ingin tahu. Hal ini sekaligus menghidupkan kesan coming-of-age dalam “Aftersun” semakin terasa, terutama ketika Ia mencoba mengekplorasi akan seksualitas.
Akan tetapi, seiring dengan memahami ceritanya, “Aftersun” sebetulnya akan berbicara yang amat jauh. Film ini sebetulnya akan banyak bertutur dari ambiguitas yang diperlihatkannya. Misalnya, bagaimana kesepian yang dialami Calum, ataupun upaya dirinya untuk tidak menunjukkan depresi yang dialaminya. Saya pun menyadari ketika di satu adegan diperlihatkan sederet buku self-healing yang ditaruh disamping TV di kamar hotel mereka.
Ya, setelah mencoba semakin memahami maksud ceritanya, “Aftersun” memang akan semakin memberikan kesan mendalam. Cuma sekali lagi, Anda perlu sensitif dan memahami hal-hal yang diperlihatkan. Jika tidak, “Aftersun” memang hanya layaknya sebagai sebuah liburan boring bertempo pelan, seperti apa yang saya rasakan.