Maret 2002, kekacauan terjadi di Kota Changchun. Stasiun televisi Cina dibajak oleh oknum-oknum dari kelompok spiritual yang dilarang pemerintah, Falun Gong. Menariknya, peristiwa ini menuai banyak perhatian warga sipil bersebab tayangan yang berisi informasi praktik Falun Gong yang oposisi dari data sebaran pemerintah. Sebagai film dokumenter submisi Kanada untuk Best Foreign Language Film di Academy Award, “Eternal Spring” memiliki cara yang unik dalam memotret peristiwa bersejarah tersebut.
“Eternal Spring” menjadikan Daxiong, salah seorang praktisi Falun Gong, sebagai penggerak rangkaian kronologi peristiwa pembajakan dalam dokumenter ini. Daxiong adalah seorang seniman komik dari Cina yang dikenal dengan ilustrasinya dalam komik ‘Star Wars’ (versi dalam naungan Dark Horse) dan ‘Justice League of America’, serial komik kembangan DC. Kepindahannya ke Kanada adalah imbas dari peristiwa pembajakan tersebut. Memanasnya konflik ideologi antara pemerintah Cina dan kelompok spiritual Falun Gong telah mengancam keamanan diri Daxiong di kota kelahirannya sendiri, Changchun.
Tindakan pembajakan tersebut menimbulkan polemik tersendiri bagi kalangan internal Falun Gong. Beberapa memuji, sebagian mengkritisi, segelintir lain mempertanyakan, termasuk Daxiong. Menurutnya, tindakan oknum tersebut tidak sejalan dengan ajaran dan prinsip baik yang dimiliki Falun Gong, ditambah kondisi pasca peristiwa pembajakan tersebut yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi banyak praktisi Falun Gong yang tidak bersalah. Mereka dipenjara, dianiaya, dibunuh, dan terpaksa melarikan diri—seperti Daxiong. Apa kiranya motivasi para oknum tersebut melakukan hal yang amat berisiko?
Berangkat dari premis tersebut, Sutradara Jason Loftus merangkai peristiwa demi peristiwa yang melatarbelakangi pembajakan dan kesudahannya melalui animasi 3D bergaya komik yang tidak lain tidak bukan, diilustrasikan oleh Daxiong sendiri, saksi mata kejadian panjang yang bermuara pada kekacauan bulan Maret tersebut.
Diawali dengan Daxiong yang memutuskan menemui Mr. White, salah seorang penyintas—mantan oknum pembajakan—yang selepas masa penahanannya, ia berpindah ke Seoul, Korea Selatan. Dokumentasi yang dinarasikan cukup rinci dan perlahan ini memilih titik permulaannya pada rentangan jauh kala kelompok spiritual Falun Gong pertama kali dilarang pemerintah Cina pada tahun 1999. Pasalnya, praktik mereka membahayakan jiwa dan bertentangan dengan prinsip komunisme yang digenggam pemerintah serta masyarakat. Berpangkal pada pernyataan demikian, para praktisi Falun Gong mulai mengalami represi dari sosial maupun pemerintah.
Meskipun melalui gaya naratif yang cenderung fiktif, cara film dokumenter ini memperkenalkan Falun Gong, bagaimana ideologi tersebut meluas, serta bagaimana para praktisi memandangnya tidak terasa muluk-muluk. Terlebih, ketika diperlihatkan potongan potret, tulisan media massa, video berita, dan dokumentasi yang ada membuat penonton memahami bahwa apa yang dikisahkan dalam dokumenter ini nyata.
Dengan semangat menyuarakan kebebasan—dalam hal ini kebebasan spiritual “Eternal Spring” menyuguhkan data yang apa adanya, tanpa tendensi apalagi provokasi untuk menggiring audiens agar menganut ajaran meditasi Falun Gong. Semangat ini diperlihatkan jelas dengan cara film yang hanya menyampaikan satu sisi sudut pandang, yaitu dari para praktisi kelompok spiritual yang merasa teraniaya oleh segala bentuk tekanan karena dianggap tak sejalan dengan visi para penguasa. Tak hanya Falun Gong, narasi yang tertulis juga menyinggung beberapa penganut kepercayaan lain yang mengalami tekanan serupa di bawah regulasi pemerintahan Cina. Diantaranya Muslim Uighur, Buddhis Tibet, dan umat Kristiani.
Untuk ukuran dokumenter yang membuat reka ulang kejadian nahas sarat kekerasan fisik serta batin, “Eternal Spring” tidak semenegangkan itu. Musik yang mengiringi kejadian demi kejadian terbilang sunyi, meskipun memang mencukupi. Namun, bagi saya pribadi, estetika bukanlah esensi dari sebuah film bertajuk dokumentasi, yang terpenting adalah sedekat apa karya tersebut dalam mengingatkan sesama bahwa inilah salah satu apa-apa yang pernah, sedang, dan terus terjadi di sekitar kita.
Badai pasti berlalu, meskipun belum tentu terbebas dari badai yang baru. Demikian pula tragedi musim semi di Kota Changchun. Peristiwa pelik yang melibatkan Falun Gong telah berlalu, tetapi belum tentu dengan ingatan para penyintas yang melalui itu. Pemberian judul dengan aksara Cina berbunyi Changchun (長春) menjadi penyempurna film dokumenter ini, sebab arti frasanya memiliki tafsir yang sejalan dengan kisahan yang disampaikan: peristiwa bersejarah pada musim semi yang diwariskan melalui ingatan; “Eternal Spring”: ‘Musim Semi yang Abadi’.